Senin, September 28, 2009

Pengantar Manajemen Investasi (Manajemen Investasi Syariah Bag. 1)


Oleh: Muhammad Budi Setiawan

Semakin pesatnya perkembangan bisnis syariah di Indonesia, maka peluang yang dihadapi oleh para pelaku bisnis syariah dalam mengembangkan sumber daya masyarakat adalah sosialisasi mengenai mekanisme, transaksi dan operasionalisasi pada dunia bisnis tersebut. Sehingga bisnis syariah yang telah ada dapat berkembang dengan maksimal. Hal inilah yang menjadi tantangan pada bisnis syariah di Indonesia. Dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, oleh karena itu partisipasi dari masyarakat sangat diperlukan.

Sementara tantangan dan ganjalan yang dihadapi dalam investasi syariah adalah konsep bagi hasil yang tidak mampu memberikan patokan tingkat penghasilan yang pasti. Pintar tidaknya sang pengelola dana akan menjadi ukuran sekaligus berdampak pada hasil yang bisa diperoleh investor. Disadari bahwa instrumen investasi syariah masih terbatas, sehingga kemampuan pengelola dana dalam mengatur portofolionya juga harus piawai. Diversifikasi investasi yang terbatas jelas akan menyulitkan pengelola dana. Oleh karena itu, investasi syariah mempunyai risiko yang lebih tinggi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya. Selain itu, prinsip investasi syariah juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi.

Dari sini dapat diasumsikan bahwa bentuk investasi syariah dalam membangun ekonomi nasional harus diperhitungkan, karena tingkat perkembangannya yang relatif cepat. Demi terpenuhinya peluang dan tantangan tersebut, maka harus dirumuskan dan disosialisasikan mengenai manajemen investasi syariah, sehingga partisipasi masyarakat dalam bisnis ini juga akan meningkat.

Membahas manajemen investasi, maka ruang lingkupnya akan terlalu luas, sehingga penulis membatasi pembahasan pada tinjauan teoritis manajemen investasi syariah di Indonesia. Baik deposito syariah, pasar modal syariah serta reksadana syariah. Dimana masih ada hubungan signifikan dengan praktik investasi yang terjadi di lapangan.

A. Teori Manajemen Investasi

Secara umum investasi berarti penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi di masa yang akan datang. Dengan pengertian bahwa investasi adalah menempatkan modal atau dana pada suatu asset yang diharapkan akan memberikan hasil atau akan meningkatkan nilainya di masa yang akan datang. Dari sini, investasi berarti diawali dengan mengorbankan potensi konsumsi saat ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar di masa yang akan datang.

Berikut karakteristik investasi:

1. Modal sebagai penentu keputusan
2. Waktu yang tepat untuk mengambil keputusan

Karena investasi adalah hubungan keputusan pada pilihan keuangan atas modal/dana dengan waktu.

Macam-macam Investasi

* Real Investment

Real investment adalah investasi yang berhubungan dengan bisnis di sektor riil. Dimana aspek ini lebih didominasi oleh industri perbankan.

* Financial Investment

Sementara Financial Investment adalah investasi yang dilakukan pada aspek keuangan. Seperti obligasi, saham, reksadana, dan pasar modal.

Konsep Dasar Investasi

* Pengaruh Waktu dan Pilihan

Hasil investasi merupakan akibat dari pilihan investasi atau jenis atas modal yang diinvestasikan dan jangka waktu investasinya.

* Prinsip Compounding

Compounding adalah menempatkan kembali hasil investasi kedalam pokok untuk mendapatkan hasil ganda.

* Risk – Return Trade Off

Keuntungan dari cash flows dan atau hasil penjualan harta atau aset investasi adalah merupakan hasil investasi. Dimana risikonya terletak pada deviasi antara hasil yang diharapkan dengan kenyataan yang terjadi. Hal inilah yang kemudian menjadikan konsep dasar investasi. Yaitu semakin tinggi keuntungan berarti semakin tinggi risiko yang mungkin akan dihadapi. Yang menjadikan investasi harus menentukan langkah memaksimalkan keuntungan dengan menekan risiko serendah-rendahnya.

* Pilihan yang Rasional

Dalam menentukan pilihan rasional seorang investor harus mencari hasil terbaik dengan risiko terendah.

* Diversifikasi

Pemikiran ini didasarkan pada prinsip peluang bisnis, yang menjelaskan bahwa setiap usaha mempunyai peluang bisnis yang berbeda-beda.

* Waktu Investasi

Penentuan waktu investasi adalah elemen yang paling kritis terhadap keberhasilan investasi. Praktik penentuan waktu ada beberapa teori:

1. Waktu memulai investasi
2. Masa investasi
3. Waktu mengalihkan investasi

Strategi mengatasi permasalahan waktu adalah dengan melakukan investasi secara berkala dengan nilai tertentu.

B. Investasi dalam Perspektif Islam

Investasi merupakan bentuk aktif dari ekonomi syariah. Sebab setiap harta ada zakatnya, jika harta tersebut didiamkan maka lambat laun akan termakan oleh zakatnya. Salah satu hikmah dari zakat ini adalah mendorong untuk setiap muslim menginvestasikan hartanya. Harta yang diinvestasikan tidak akan termakan oleh zakat, kecuali keuntungannya saja.

Dalam investasi mengenal harga. Harga adalah nilai jual atau beli dari sesuatu yang diperdagangkan. Selisih harga beli terhadap harga jual disebut profit margin. Harga terbentuk setelah terjadinya mekanisme pasar.

Suatu pernyataan penting al-Ghozali sebagai ulama’ besar adalah keuntungan merupakan kompensasi dari kepayahan perjalanan, risiko bisnis dan ancaman keselamatan diri pengusaha. Sehingga sangat wajar seseorang memperoleh keuntungan yang merupakan kompensasi dari risiko yang ditanggungnya.

Ibnu Taimiah berpendapat bahwa penawaran bisa datang dari produk domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan harapan dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga tergantung besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT.

C. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Investasi

Prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syariah (pihak terkait) adalah:

1. Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2. Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.
3. Keadilan pendistribusian kemakmuran.
4. Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5. Tidak ada unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan/samar-samar).

Berdasarkan keterangan di atas, maka kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum syariat yang berlaku. Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syariah tidak boleh disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Pembelian saham pabrik minuman keras, pembangunan penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan syariah berarti diharamkan.

Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang didzalimi atau mendzalimi. Seperti goreng-menggoreng saham. Tidak ada unsur riba, tidak bersifat spekulatif atau judi dan semua transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider trading.

D. Analisis Fiqh

Istilah mudharabah merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh bank-bank syariah. Prinsip ini juga dikenal sebagai qiradh atau muqaradah.

Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian, dimana pihak perama (shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggungjawab atas pengelolaan usaha.

Orang-orang Madinah meyebut kontrak jenis ini dengan sebutan muqaradah, dimana perkataan ini diambil dari perkataan qard yang berarti menyerahkan. Dalam hal ini pemilik modal akan menyerahkan modalnya kepada pengusaha. Keuntungan hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisbah bagi hasil untung/rugi yang telah disepakati bersama sejak awal. Kalau rugi, maka pemilik modal akan kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan manajerial skil selama proyek berlangsung.

Mudharabah adalah suatu kerjasama kemitraan yang terdapat pada zaman jahiliah yang diakui oleh Islam. Di antara orang yang melakukan kegiatan mudharabah ialah Nabi Muhammad SAW sebelum beliau menjadi Rasul. Beliau bermudharabah dengan calon istrinya Khadijah dalam melakukan perniagaan antara Negeri Makkah dengan Negeri Syam.

Dalam transaksi mudharabah harus memenuhi rukun mudharabah meliputi, yaitu:

1. Shahibul maal (pemilik dana/nasabah).
2. Mudharib (pengelola dana/pengusaha/bank), amal (usaha/pekerjaan).
3. Ijab dan Qabul.

Dilihat dari kuasa yang diberikan kepada pengusaha, mudharabah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak terikat) yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan/gangguan apapun urusan dalam proyek tersebut, dan tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan, pelanggan. Investasi tidak terikat ini pada usaha perbankan syariah diaplikasikan pada tabungan dan deposito.
2. Mudharabah Muqayyadah (investasi terikat) yaitu pemilik dana (shahibul maal) membatasi/memberi syarat kepada mudharib dalam pengelolaan dana seperti, hanya untuk melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu, dan tempat tertentu saja. Bank dilarang mencampurkan rekening investasi terikat dengan dana bank atau dana rekening lainnya pada saat investasi.

Pada transaksi ini bank dilarang untuk menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan tanpa penjamin atau jaminan. Bank diharuskan melakukan investasi sendiri tidak melalui pihak ketiga. Jadi, dalam investasi terikat ini pada prinsipnya kedudukan bank sebagai agen saja, dan atas kegiatannya tersebut bank menerima imbalan berupa fee.

Pada pola investasi terikat dapat dilakukan dengan cara channelling dan executing, yakni:

1. Channelling, apabila semua risiko ditanggung oleh pemilik dana dan bank sebagai agen tidak menanggung risiko apapun.
2. Executing, apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko dan hal ini banyak yang menganggap bahwa investasi terikat executing ini sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip mudharabah, namun dalam akuntansi perbankan syariah diakomodir karena dalam praktiknya pola ini dijalankan oleh bank syariah.


Oleh: Muhammad Budi Setiawan

Aktivitas perdagangan dan usaha yang sesuai dengan syariah adalah kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan produk atau jasa yang haram seperti makanan haram, perjudian atau kemaksiatan. Selain itu juga menghindari cara perdagangan dan usaha yang dilarang, termasuk yang tergolong praktik riba, gharar dan maysir.

Kenyataannya tidak semua aktivitas perdagangan dan usaha memenuhi ketentuan syariah. Untuk itu fatwa ulama diperlukan guna memastikan pemenuhan kualifikasi tersebut. Fatwa mengenai halal-haram transaksi keuangan syariah di Indonesia ditetapkan Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan bantuan tenaga praktisi dan penerapannya dilaksanakan dengan bantuan Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Salah satu tonggak penting dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Perbankan syariah semakin marak setelah diterbitkan UU No 10/1998 yang memungkinkan perbankan menjalankan dual banking system atau bank konvensional dapat mendirikan divisi syariah. Dengan adanya Undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syariah. Tak heran jika perkembangan perbankan syariah cukup pesat.

Faktor utama yang mendukung perkembangan ekonomi syariah di Indonesia di masa mendatang adalah jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu adanya peningkatan kesadaran umat Islam dalam berinvestasi sesuai syariah. Mengingat begitu pentingnya investasi sebagai salah satu perilaku ekonomi, maka menjadi penting pula pemahaman mengenai teori dan praktik investasi tersebut. Berikut uraian dari teori dan praktik investasi syariah.

A. Bentuk-bentuk Investasi Syariah

1. Deposito Syariah
Dalam operasionalisasi di dunia perbankan, transaksi ini mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu:

* Kedua belah pihak yang mengadakan kontrak antara pemilik dana dan mudharib akan menentukan kapasitas baik sebagai nasabah maupun pemilik. Di dalam akad tercantum pernyataan yang harus dilakukan kedua belah pihak yang mengadakan kontrak dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan secara tersurat maupun tersirat mengenai tujuan kontrak.
2. Penawaran dan penerimaan harus disepakati kedua belah pihak di dalam kontrak tersebut.
3. Maksud penawaran dan penerimaan merupakan suatu kesatuan informasi yang sama penjelasannya.perjanjian bisa saja berlangsung melalui proposal tertulis dan langsung ditandatangani.

* Modal adalah sejumlah uang pemilik dana diberikan kepada mudharib untuk diinvestasikan dikelola) dalam kegiatan usaha mudharabah.

Adapun Syarat yang tercakup dalam modal adalah sebagai berikut:

1. Jumlah modal harus diketahui secara pasti termasuk jenis mata uangnya.
2. Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya berbentuk aset menurut Jumhur Ulama Fiqh diperbolehkan, asalkan berbentuk barang niaga dan mempunyai nilai atau historinya pada saat mengadakan kontrak. Bila aset tersebut berbentuk non-kas yang siap dimanfaatkan, seperti pesawat dan kapal, menurut Madzab Hanbali diperbolehkan sebagai modal mudharabah asalkan mudharib tetap menginvestasikan semua modal tersebut dan berbagi hasil dengan pemilik dana dalam pendapatan dari investasi dan pada akhir jangka waktu.
3. Modal harus tersedia dalam bentuk tunai tidak dalam bentuk piutang.
4. Modal mudharabah langsung dibayar kepada mudharib. Beberapa Fuqaha berbeda pendapat mengenai cara realisasi pencarian dana, yaitu dibayar langsung dengan cara lain dilaksanakan dengan memungkinkan mudharib untuk memperoleh manfaat dari modal tersebut bagaimanapun cara akuisisinya. Sesuai dengan pendapat kedua, pengadaan kontrak dapat dilaksanakan untuk keseluruhan modal dan pembayarannya kepada mudharib dapat dibuat dalam beberapa angsuran.

* Keuntungan adalah jumlah yang melebihi jumlah modal dan merupakan tujuan mudharabah dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Keuntungan ini haruslah berlaku bagi kedua belah pihak dan tidak ada satu pihakpun yang akan memilikinya.
2. Haruslah menjadi perhatian dari kedua belah pihak dan tidak terdapat pihak ketiga yang akan turut memperoleh bagi hasil darinya. Porsi bagi hasil keuntungan untuk masing-masing pihak harus disepakati bersama pada saat perjanjian ditandatangani. Bagi hasil mudharib harus secara jelas dinyatakan pada saat pengadaan kontrak dilakukan.
3. Pemilik dana akan menanggung semua kerugian sebaliknya mudharib tidak menanggung kerugian sedikitpun. Akan tetapi, mudharib harus menanggung kerugian bila kerugian itu timbul dari pelanggaran perjanjian atau penghilangan dana tersebut.

* Jenis usaha/pekerjaan diharapkan mewakili/menggambarkan adanya kontribusi mudaharib dalam usahanya untuk mengembalikan/membayar modal kepada penyedia dana. Jenis pekerjaan dalam hal ini berhubungan dengan masalah manajemen dari pembiayaan mudharabah itu sendiri. Di bawah ini merupakan syarat-syarat yang harus diterapkan dalam usaha/pekerjaan mudharabah adalah sebagai berikut:

1. Bentuk pekerjaan/usaha. Merupakan hak khusus mudharib tidak ada intervensi manajemen dari pemilik dana, meskipun demikian menurut Madzab Hambali membolehkan adanya peran serta/partisipasi pemilik dana dalam pekerjaan/usaha tersebut.
2. Penyedia dana tidak harus boleh membatasi kegiatan mudharib sperti melarang mudharib agar tidak sukses dalam pencarian laba/keuntungan.
3. Mudharib tidak boleh melanggar hukum islam dalam usahanya dan juga harus mematuhi praktik-praktik usaha yang berlaku.
4. Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang diajukan pemilik dana asalkan syarat-syarat tersebut tidak bertentangan kontrak mudharabah tersebut.

* Modal mudharabah tidak boleh dalam penguasaan pemilik dana, sehingga tidak dapat ditarik sewaktu-waktu. Penarikan dana mudharabah hanya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati (periode yang telah ditentukan). Penarikan dana yang dilakukan setiap saat akan membawa dampak berkurangnya pembagian hasil usaha oleh nasabah yang menginvestasikan dananya.

2. Pasar Modal Syariah
Dalam arti sempit pengertian pasar merupakan tempat para penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan penjual langsung bertemu untuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu. Lokasi atau tempat pertemuan tersebut disebut pasar. Namun dalam arti luas pengertian pasar merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan penjual, dimana pembeli dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat atau bertemu langsung, akan tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi yang ada seperti sarana elektronika.

Pengertian pasar modal secara umum merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual (emiten) dalam pasar modal merupakan perusahaan yang membutuhkan modal, sehingga mereka berusaha untuk menjual efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (investor) adalah pihak yang ingin membeli modal diperusahaan yang menurut mereka menguntungkan. Pasar modal dikenal dengan nama bursa efek, dan di Indonesia dewasa ini ada dua buah bursa efek yaitu Bursa Fek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES).

Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal yang bila diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang. Oleh karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa pengembaliannya relatif panjang, baik yang bersifat kepemilikan maupun yang bersifat hutang. Khusus untuk modal bersifat kepemilikan, jangka waktunya lebih panjang jika dibandingkan dengan yang bersifat hutang.

* Instrumen Pasar Modal Syariah

1. Saham Syariah
Menurut Dewan Syariah Nasioanal (DSN), saham adalah suatu bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria syariah dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa. Bagi perusahaan yang modalnya diperoleh dari saham merupakan modal sendiri. Dalam struktur permodalan khususnya untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT), pembagian modal menurut undang-undang terdiri:

1. Modal dasar, yaitu modal pertama sekali perusahaan didirikan.
2. Modal ditempatkan, maksudnya modal yang sudah dijual dan besarnya 25% dari modal dasar.
3. Modal disetor, merupakan modal yang benar-benar telah disetor yaitu sebesar 50% dari modal yang telah ditempatkan.
4. Saham dalam portepel yaitu modal yang masih dalam bentuk saham yang belum dijual atau modal dasar dikurangi modal ditempatkan.

* Prinsip Dasar Saham Syariah

1. Bersifat musyarakah jika ditawarkan secara terbatas.
2. Bersifat mudharabah jika ditawarkan kepada publik.
3. Tidak boleh ada pembeda jenis saham, karena risiko harus ditanggung oleh semua pihak.
4. Prinsip bagi hasil laba-rugi.
5. Tidak dapat dicairkan kecuali dilikuidasi.

* Jenis-jenis Saham

Saham Preferen

1. Mempunyai sifat gabungan antara saham biasa dan obligasi.
2. Hak preferen terhadap dividen: hak untuk menerima dividen terlebih dahulu dibandingkan dengan pemegang saham biasa. Dividen biasanya dinyatakan dalam persen (%).
3. Hak dividen komulatif: hak untuk menerima dividen tahun-tahun sebelumnya yang belum dibayarkan.
4. Hak preferen likuiditas: mendapatkan terlebih dahulu aktiva perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham biasa bila terjadi likuidasi.
5. Dari penjelasan mengenai prinsip dasar saham syariah, maka saham preferen tidak berlaku pada saham syariah.

Saham Biasa

1. Hak kontrol: memilih pimpinan perusahaan.
2. Hak menerima pembagian keuntungan.
3. Hak preemtive: hak untuk mendapatkan prosentasi kepemilikan yang sama jika perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham.

Saham Treasury

1. Saham perusahaan yang pernah beredar dan dibeli kembali oleh perusahaan untuk disimpan dan dapat dijual kembali.
2. Beberapa alasan kenapa ada saham treasury: a. Dapat diberikan sebagai bonus kepada karyawan, b. Meningkatkan perdagangan, sehingga nilai pasar meningkat, c. Mengurangi jumlah saham beredar untuk menaikkan laba per lembar saham, d. Untuk mencegah perusahaan dikuasai oleh perusahaan lain.

* Pedoman Syariah

1. Uang tidak boleh menghasilkan uang. Uang hanya boleh berkembang bila diinvestasikan dalam aktivitas ekonomi.
2. Hasil dari kegiatan ekonomi diukur dengan tingkat keuntungan investasi. Keuntungan ini dapat diestimasikan tetapi tidak ditetapkan di depan.
3. Uang tidak boleh dijual untuk mempeoleh uang.
4. Saham dalam perusahaan, kegiatan mudharabah atau partnership/musyarakah dapat diperjualbelikan dalam rangka kegiatan investasi dan bukan untuk spekulasi dan untuk tujuan perdagangan kertas berharga.
5. Instrumen finansial islami, seperti saham, dalam suatu venture atau perusahaan, dapat diperjualbelikan karena ia mewakili bagian kepemilikan atas aset dari suatu bisnis.
6. Beberapa batasan dalam perdagangan sekuritas seperti itu antara lain: a. Nilai per share dalam suatu bisnis harus didasarkan pada hasil appraisal atas bisnis yang bersangkutan, b. Transaksi tunai, harus segera diselesiakan sesuai dengan kontrak.

2. Obligasi Syariah
Perihal obligasi syariah sendiri, sebenarnya telah ada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah dan fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Keduanya, dikeluarkan pada waktu bersamaan, 14 September lalu.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan pada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Sementara pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang obligasi syariah harus bersih dari unsur nonhalal. Mengenai bagi hasil (nisbah) antara emiten dan pemegang obligasi syariah, diatur bahwa nisbah keuntungan dalam obligasi syariah mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan dengan ketentuan pada saat jatuh tempo, akan diperhitungkan secara keseluruhan.

Kewajiban dalam syariah hanya timbul akibat adanya transaksi atas aset/produk (mal) atau jasa (amal) yang tidak tunai, sehingga terjadi transaksi pembiayaan. Kewajiban ini umumnya berkaitan dengan transaksi perniagaan dimana kondisi tidak tunai tersebut dapat terjadi karena penundaan pembayaran atau penundaan penyerahan obyek transaksi (mal atau amal). Dalam Islam pembiayaan dapat terjadi karena ada suatu pihak yang memberikan dana untuk memungkinkan suatu transaksi. Pihak penjual dapat memberikan pembiayaan dengan memberikan fasilitas penundaan pembayaran, sedangkan pihak pembeli dapat memberikan pembiayaan dengan memberikan fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi.

* Jenis-jenis Obligasi

1. Obligasi Mudharabah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Obligasi Ijarah. Dengan akad Ijarah sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

* Pedoman Syariah

Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:

* Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:

1. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram.
4. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

* Peringkat Investment Grade:

1. Memiliki fundamental usaha yang kuat.
2. Memiliki fundamental keuangan yang kuat.
3. Memiliki citra yang baik bagi publik

3. Reksadana Syariah
Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Sedangkan reksadana syariah adalah reksadana yang beroperesi menurut ketentuan dalam prinsip syariah, baik dalam bentuk akad, pengelolaan dana dan penggunaan dana.
Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah.

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalain pengusaha, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Dalam hal transaksi jual beli, saham-saham dalam reksadana syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksadana syariah merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam syariah.

* Pedoman Syariah

Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum supply and demand.
Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan jelas.

B. Jenis Investasi Berdasarkan Syariah

1. Tabungan Bagi Hasil (Mudharabah)
Tabungan bagi hasil adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Dalam hal ini bank syariah mengelola dana yang diinvestasikan oleh penabung secara produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam. Hasil keuntungannya akan dibagikan kepada penabung dan bank, sesuai perbandingan bagi hasil atau nisbah yang disepakati bersama.

Contoh perhitungan bagi hasil; Saldo rata-rata Bapa Huda bulan November 2004 sebesar Rp 1 juta sedangkan saldo rata-rata tabungan seluruh nasabah Bank Syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 50 juta. Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 50:50 dan pendapatan bank yang dibagihasilkan untuk tabungan sebesar Rp 1 juta maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah sebesar: (Rp 1 juta : Rp 50 juta X Rp 1 juta X 50% = Rp 10.000,00.

Sehingga Bapa Huda akan menerima bagi hasil sebesar Rp. 10 ribu rupiah dalam bulan November 2004 atas tabungan saldo rata-rata sebesar Rp. 1 juta. Berbeda dengan bank konvensional yang pendapatan bunganya tetap sepanjang tidak ada perubahan. Bagi hasil yang didapatkan dari bank syariah dapat berubah setiap bulan, tergantung pendapatan bagi hasil yang diterima bank syariah dari para peminjam.

2. Deposito Bagi Hasil (Mudharabah)
Deposito Bagi Hasil merupakan produk investasi jangka waktu tertentu. Nasabahnya bisa perorangan maupun badan. Produk ini menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah. Dengan prinsip ini bank akan mengelola dana yang diinvestasikan nasabah secara produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam. Hasil keuntungannya akan dibagikan kepada nasabah dan bank sesuai nisbah yang disepakati bersama sebelumnya.

Contoh ilustrasi perhitungan bagi hasil; Saldo rata-rata Bapa Huda bulan November 2004 sebesar Rp 10 juta sedangkan saldo rata-rata deposito seluruh nasabah bank syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 500 juta. Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 65:35 dan pendapatan bank syariah yang dibagihasilkan untuk deposito sebesar Rp 10 juta maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah: (Rp 10 juta : Rp 500 juta X Rp 10 juta X 65% = Rp 130.000,00.

3. Investasi Khusus (Mudharabah Muqayyadah)
Investasi khusus adalah suatu bentuk investasi nasabah yang disalurkan langsung kepada pembiayaan tertentu sesuai dengan keinginan nasabah. Perbandingan atau nisbah bagi hasil yang ditetapkan berdasarkan kesepatan antara bank, nasabah serta penasihat keuangan jika diperlukan (dapat dinegosiasikan). Dana akan diinvestasikan kepada sektor riil yang menguntungkan sesuai keinginan nasabah.

Contoh perhitungan bagi hasil; Bapa Huda menginvestasikan dana sebesar Rp 5 juta dengan pilihan untuk pembiayaan kepada pedagang bahan bangunan. Bila pada bulan berikutnya keuntungan investasi yang diterima bank dari pedagang bahan bangunan sebesar Rp 2 juta sementara kesepakatan nisbah antara nasabah dan bank sebesar 65:35, maka bagi hasil yang didapatkan Bapa Huda adalah sebesar: Rp 2 juta X 65% = Rp 1.300.000

Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh deposan investasi khusus dalam hal ini akan sangat bervariasi tergantung dari kinerja dari pedagang yang diberikan pinjaman, dimana ada kemungkinan suatu saat apabila pedagang tersebut mengalami kerugian maka bisa saja kita tidak mendapat bagi hasil alias 0.

* Investasi Saham Sesuai Syariah di Pasar Modal

Salah satu bentuk investasi yang sesuai dengan syariah adalah membeli saham perusahaan, baik perusahaan non publik (private equity) maupun perusahaan publik/terbuka. Cara paling mudah dalam melakukan investasi saham sesuai syariah di BEJ adalah memilih dan membeli jenis saham-saham yang dimasukkan dalam Jakarta Islamic Index (JII).

* Reksadana Syariah

Dalam reksadana konvensional, pengaturan atau penempatan portfolio investasi hanya menggunakan pertimbangan tingkat keuntungan. Sedangkan reksadana syariah selain mempertimbangkan tingkat keuntungan juga harus mempertimbangkan kehalalan suatu produk keuangan. Sebagai contoh bila reksadana syariah ingin menempatkan salah satu jenis investasinya dalam saham, maka saham yang dibeli tersebut harus termasuk perusahaan yang sudah dibolehkan secara syariah. Lebih mudahnya sudah termasuk dalam jenis saham yang ada dalam daftar JII (Jakarta Islamic Index). Demkian juga jenis investasi lainnya seperti obligasi, harus yang menganut sistem syariah.

Manajer investasi reksadana syariah harus memahami investasi dan mampu melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan syariah. Untuk itu diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan praktek riba, gharar dan maysir. Dalam praktek syariah maka Manajer Investasi bertindak sesuai dengan perjanjian atau aqad wakalah. Manajer investasi akan menjadi wakil dari investor untuk kepentingan dan atas nama investor. Sebagai bukti penyertaan dalam reksadana syariah maka investor akan mendapat unit penyertaan dari reksadana syariah.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=530488095844853485
selengkapnya...

Rabu, Juli 22, 2009

Perbankan Syari'ah

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.

Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa (مَنْ لاَ يَتِمُ الوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ) , yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan.

Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan[i]. Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan ( financial intermediary function ). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah.

Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.

Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut : [ii]

Bank Syariah


Bank Konvensional

1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja


1. Investasi yang halal dan haram

2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa


2. Memakai perangkat bunga

3. Profit dan falah oriented


3. Profit oriented

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan


4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur

5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma DewanPengawas Syariah


Tidak terdapat dewan sejenis

Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam bentuk yang terbagi menjadi :

1. Musyarakkah

Adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.

2. Murabahah

Adalah Akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan.

3. Mudharabah

Adalah bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh berdasarkan prinsip bagi hasil dan,

4. Ijarah ( sewa – menyewa )

Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari – hari. Sewa – menyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur essensial yaitu :

a. Harga sewa

b. Jangka waktu / masa sewa

c. Obyek sewa

Dalam transaksi sewa – menyewa ini tidak ada peralihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa yang disebut Ijarah . Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada transaksi sewa – menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga tidak diperlukan pembiayaan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan pembiayaan ?

B. Perumusan Masalah :

Dari latar belakang di atas menyangkut perkembangan perbankan syariah di Indonesia khususnya di Indonesia khususnya dalam penerapan prinsip ijarah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Kenapa timbul pembiayaan pada Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?

2. Dimanakah landasan yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini, maka tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui kenapa sampai timbul pembiayaan pada Akad Sewa –Menyewa dalam praktek perbankan syariah.

2. Untuk mengetahui letak penghaturan landasan yuridis pembiayaan berdasarkan Akad Sewa – Menyewa dalam praktek perbankan syariah.

BAB II

P E M B A H A S A N

A. Bank Syariah.

Bank merupakan lembaga yang mendapat izin untuk menyerahkan dana masyarakat yang berupa simpanan dan menyalurkan dana kepada masyarakat berupa pinjaman sehingga berfungsi sebagai sarana perantara bagi nasabah yang mengalami surplus dengan peminjam yang mengalami defisit dana dalam membiayai usaha yang dilakukannya[iii]. Sedangkan bank berdasarkan syariah Islam (Bank Islam) adalah lembaga perbankan yang system operasinya berdasarkan syariah Islam. Ini dapat diasumsikan operasi perbankan mengikuti tata cara usaha dan perjanjian usaha seperti yang diterapkan oleh Rasulullah SAW.

B. Prinsip Bank Islam

Menurut Hari Basuki, Bank Islam berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Larangan bunga

2. Mengutamakan dan memperomosikan perdagangan dan jaul beli

3. Keadilan dan persaudaraan

Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :

a. Keadilan sosial

b. Keadilan ekonomi

c. Keadilan distribusi pendapatan

4. Kebersamaan dan tolong menolong

5. Saling mendorong untuk meningkatkan prestasi

C. Tujuan Perbankan Islam

Secara umum Perbankan Islam mempunyai tujuan untuk mengembangkan dan peningkatan serta memelihara aplikasi prinsi-prinsip hukum Islam pada transaksi-transaksi keuangan, perbankan dan masalah-masalah yang terkait dengan bisnis. Diantara tujuan-tujuannya adalah : [iv]

a. Pelarangan praktek riba’

b. Menyediakan para pelanggannya dengan faslilitas-fasilitas dan jasa perbankan Islam dengan kualitas sebaik-baik mungkin

c. Mencapai kemajuan tingkat keuntungan yang cukup demi perkembangan perbankan itu sendiri

d. Mengembangkan dan memilahara suatu manajement yang competen serta inovatif yang terkait dengan standar integrasi dan profesionalisme perbankan Islam

e. Mengembangkan suatu kemampuan yang bermotifasi pada penghematan dengan etika yang jujur kepada mitra usaha

f. Menghimpun, mengatur administrasi dan mendistribusikan zakat dan infaq dan shadaqah

Berdasarkan fungsinya jenis bank di Indonesia dapat dikelompokkan atas:

1. Bank sentral yaitu Bank Indonesia sebagaimana dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

3. Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatannya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan ter tentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan[v]. Peraturan tentang perbankan pertama kali diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992, pada peraturan perundang-undangan ini belum secar a tegas menganut bahwa prinsip syariah dalam perbankan diperbolehkan akan tetapi sudah mulai disinggung secara implisit. Hal ini dapat dilihat dari pasal 6 huruf b dan m Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yaitu :

- Memberikan kredit; dan

- Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah[vi]; Selain itu juga diatur dalam salah satu kegiatan usaha bank perkreditan rakyat yaitu “

menyediakan pembiayaan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah “, akan tetapi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 masih menganut single banking system yang dipertegas dalam PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Dalam PP tersebut, bank hanya diperkenankan melakukan kegiatan operasional usaha secara konvensional saja atau bagi hasil saja, jadi tidak boleh dalam suatu bank melakukan pelayanan memakai dua prinsip secara bersamaan. Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam undang-undang ini baru secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun bank perkreditan rakyat

D. Tinjauan Umum Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

1. Pembiayaan produktif , yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

A. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:

(a). Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan

(b).Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.

B. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal ( capital goods ) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

2. Pembiayaan konsumtif , yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya[vii].

Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama ( main collateral ). Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral .sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.

Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan barang konsumsi sebagai berikut :[viii]

1. Al-Bai’bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.

2. Al-ijarah al- muntahia bit- tamlik atau sewa beli.

3. Al-Musyawarakah mutanaqhishah atau decreasing participation , dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.

4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

E. Pembiayaan Dalam Praktek Perbankan Syariah

Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagai berikut:

1. Pembiayaan Mudharabah

Adalah Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh ( trusty financing ), sedangkan nasabah menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya. Hasil keuntungan dan kerugian yang dialami nasabah dibagikan atau ditanggung bersama antara bank dan nasabah dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama. Prinsip mudharabah dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau deposito dan juga untuk melakukan pembiayaan.

Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut:

Rukun Mudharabah :

a. Ada shahibul maal (modal/nasabah)

b. Adanya mudharib (pengusaha/bank)

c. Adanya amal (usaha/pekerjaan)

d. Adanya hasil (bagi hasil/keuntungan) dan

e. Adanya aqad (ijab-qabul)

2. Pembiayaan Musyarakah

Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.modal yang disetor dapat berupa uang, barang perdagangan ( trading asset ), property, equipment atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwiil ) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

Jenis-jenis al-Musyarakah antara lain :[ix]

a. Syirkah al ‘inan, adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam pekerjaan. Kedua belah pihak berbagi keuntungan dan kerugian sebagai mana yang telah disepakati.

b. Syirkah mufawadhah, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Akan tetapi syarat utamanya ialah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak.

c. Syirkah A’maal, adalah kontrak kerjasama dengan dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara sama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

d. Syirkah Wujuh, adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan gengsi serta serta ahli dalam bisnis.

e. Syirkah Muhharabah.

3. Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu.dalam transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termaksud harga pembelian dan keuntungan yang diambil.

Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia bank dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Adapun rukun dan syaratnya sebagai berikut:

Rukun Murabahah :

a. Penjual

b. Pembeli

c. Barang yang diperjual-belikan

d. Harga dan

e. Ijab- qabul

4. Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil

Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan cicilan. Syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama dengan pembiayaan murabahah . Perbedaan diantara keduanya terletak pada cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang mampu memperlihatkan hasil usahanya.

5. Pembiayaan Salam

Pembiayaan Salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan jangka pendek untuk produksi agrobisnis atau industri jenis lainnya. Salam dapat diartikan pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari sementara pembayaran dilakukan dimuka.

Rukun Bai’ Salam : (1) Muslam / Pembeli; (2) Muslam Ilaih / Penjual; (3) Modal atau uang; (4) Muslam Fih; (5) Sighat atau ucapan[x].

6. Pembiayaan Isthina’

Pembiayaan Isthina’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah, dan konstruksi.dalam pelaksanaannya pembiayaan isthina dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kedua belah pihak.

Isthina’ adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepekati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Sedankan pembayaran dilakukan dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.[xi]

Syarat syah Bai ‘Isthina’ : (1) Barang yang menjadi objek kontrak harus dirinci untuk menghilangkan ketidak jelasan mengenai barang, diantara jenis barang, type, kualitas serta kuantitas; (2) Harga : harus diketahui oleh kedua pihak dan dapat dibayarkan pada waktu akad, secara cicilan atau ditangguhakn pada waktu tertentu pada masa yang akan dating.[xii]

7. Pembiayaan sewa beli ( ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik )

Pembiayaan sewa beli adalah akad sewa suatu barang antara bank dengan nasabah, dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi obyek sewa diisyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh syariat dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur.pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara:

pertama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli aset yang akan dibeli oleh nasabah, setelah terbeli maka, lembaga tersebut menyewakan aset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

8. Hiwalah

Hiwalah adalah produk perbankan syari’ ah yang disediakan untuk membantu suplier dan mendapatkan modal tunai agar melanjutkan produksinya. dalam hal ini Bank akan mendapatkan imbalan ( fee ) atas jasa pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima Bank ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antar Bank dengan nasabah.

9. Rahn

Rahn adalah menahan salah satu harta millik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.[xiii]

Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiyaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti Bank hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan. berkenaan dengan hal tersbut maka, produk Rahn hanya digunakan bagi keperluan Sosial seperti pendidikan dan kesehatan[xiv].

10. Ijarah

Al-Ijarah berasal dari kata Al – Ajru yang berarti Al’Iwadhu atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, Al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. Definisi mengenai prinsip Ijarah [xv] juga telah diatuir dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai “transaksi sewa – menyewa atas suatu barang dan atau upah – mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. ”Sampai saat ini, mayor itas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori Natural certainty contracts , dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. yang membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. sedangkan dalam pembiayaan ijarah , objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah , Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa[xvi].

Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah .

2. Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease )[xvii]

Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya.

2. Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik Barang yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets seperti : gedung-gedung ( buildings ), kantor, mesin, rumah-rumah petak ( tenements ), atau barang bergerak yang memiliki specific fixed[xviii].

3. Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

1. Rukun

a. Penyewa ( musta’ jir )

b. Pemilik barang ( mu’ajjir )

c. Barang atau obyek sewaan ( ma’jur )

d. Harga sewa/manfaat sewa ( ajran/ujran )

e. Ijab Qabul

2. Syarat

a. Pihak yang saling telibat harus saling ridha

b. Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)

- Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.

- Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau diperhitungkan.

- Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa

- Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir[xix]

F. Tinjauan Yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa-Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah.

Dalam lapangan hukum perdata prinsip Ijarah dikenal dengan istilah prinsip sewa

– menyewa. Definisi sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal 1548 KUH Perdata adalah “ suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. “

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna ( manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[xx]

Dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro wadi’ah , dan tabungan wadi’ah juga simpanan bersifat investasi, yakni : giro mudharabah , tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Pada bidang penyaluran dana, Peraturan Bank Indonesia dimaksud telah mengatur dalam Pasal l6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk – produk penyaluran dana dalam perbankan syar iah yaitu Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga ijarah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:

1. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah ;

2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah ;

3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah ;atau

4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah

b. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:

1. Murabahah; 2. Istihna; 3. Ijarah; 4. Salam; 5. Jual beli lainnya

G. Perbankan Syari’ah Di Indonesia

Keberadaan bank syariah dalam system 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Namun demikian UU ini belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena belum secara tegas mengatur mengenai keberadaan bank berdasarkan prinsip syariah, melainkan bagi hasil. Pengertian bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum mencakup secara tepat pengertian bank syariah yang memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, sampai dengan tahun 1998 belum terdapat perangkat hukum operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah (Hari Basyuki dalam Dhani Gunawan Idhat : 2003).

Pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia, perundan-undangan tersebut memberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan jaringan perbankan syariah antara lain melalui izin pembukaan kantor cabang syariah ( KCS ) oleh bank umum konvensional. Selain itu UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga menugaskan BI mempersiapkan perangkat peraturan dan fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional bank syariah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan dual banking system di Indonesia. Dual banking system yang dimaksud adalah terselenggaranya dua system perbankan (konvensional dan syariah). Secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]


BAB III

P E N U T U P

Kesimpulan

Praktek sewa – menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli ( leasing ) umumnya pemberian jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank / finance . Pada praktek perbankan syariah, akad sewa – menyewa disebut Ijarah . Akad sewa – menyewa ( Ijarah ) pada perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik ( IMBT ).

Walaupun seperti terlihat mirip dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat pembedaan, yaitu jika objek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa / tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001.

Basuki, MS, Hari, Perbankan Islam” konsep dan operasionalnya, Makalah disampaikan pada “Masa’ilul Fiqiyah” UIN Ayarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.

Chairi, Zulfi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syari’ah Menurut UU No.10 Tahun 1998, e-usu Repository, 2005.

Ghofur Anshori, Abdul, Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia, Materi kuliah Perbankan Syariah, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2006

Hasan Ahmad Hamoud, Sami, Tathwiir al-A’mal al – Mash – rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah ( Amman : Matbaatu asy-Syarq wa Maktabatuha, 1982).

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah Jilid 13, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, Bandung, 1995

Hendry, Arisson, et al., Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute, Jakarta, 1999

[1] Hari Basuki, MS Op.cit Hal : 18

[i] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14 - 15

[ii] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. 34

[iii] Hari Basuki, MS, Perbankan Islam” konsep dan operasionalnya, 2003, hal : 2

[iv] Ibid hal : 7

[v] Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syari’ah Menurut UU No.10 Tahun 1998, e-usu Repository, 2005, hal. 3

[vi] Abdul Ghofur Anshori, Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia, Materi kuliah Perbankan Syariah, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2006, hal. 5-6

[vii] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit, hal. 168

[viii] Sami Hasan Ahmad Hamoud, Tathwiir al-A’mal al – Mash – rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah ( Amman : Matbaatu asy-Syarq wa Maktabatuha, 1982).

[ix] Hari Basuki, MS Op.cit Hal : 13

[x] Hari Basuki, MS ibid: 11

[xi] Hari Basuki, MS Op.cit hal. 11

[xii] Ibid hal. 11-12

[xiii] Ibid hal. 14

[xiv] Zulfi Chairi, Op.cit, hal. 12

[xv] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 13, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, Bandung, 1995, hal. 15

[xvi] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 137

[xvii] Arisson Hendry, et al., Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi , Muamalat Institute, Jakarta, 1999, hal. 95 Ibid, hal. 96

[xviii] Ibid, hal. 94

[xix] Ibid, hal. 94

[xx] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 138
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=530488095844853485

selengkapnya...

Rabu, Juli 01, 2009

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 102


PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 102
AKUNTANSI MURABAHAH
Paragraf yang dicetak dengan huruf tebal dan miring
adalah paragraf standar. Paragraf Standar harus dibaca
dalam kaitannya dengan paragraf penjelasan yang
dicetak dengan huruf tegak (biasa). Pernyataan ini tidak
wajib diterapkan untuk unsur-unsur yang tidak material
(immaterial items).
PENDAHULUAN
Tujuan
1. Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan,
pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi
murabahah.
Ruang Lingkup
2. Pernyataan ini diterapkan untuk:
(a) lembaga keuangan syariah yang melakukan transaksi
murabahah baik sebagai penjual maupun pembeli;
dan
(b) pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah
dengan lembaga keuangan syariah.
3. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan
perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang
menggunakan akad murabahah.
4. Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain,
adalah:
(a) perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(b) lembaga keuangan syariah non-bank seperti asuransi,
lembaga pembiayaan, dan dana pensiun; dan
(c) lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan
transaksi murabahah.
Definisi
5. Berikut ini adalah pengertian istilah yang digunakan
dalam Pernyataan ini:
Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual
sebesar harga perolehan ditambah keuntungan yang
disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga
perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang
dibayarkan untuk memperoleh suatu aset sampai dengan
aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk
dijual atau digunakan.
Aset murabahah adalah aset yang diperoleh dengan tujuan
untuk dijual kembali dengan menggunakan akad
murabahah.
Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pembeli
kepada penjual sebagai bukti komitmen untuk membeli
barang dari penjual.
Diskon murabahah adalah pengurangan harga atau
penerimaan dalam bentuk apapun yang diperoleh lembaga
keuangan syariah sebagai pihak pembeli dari pemasok.
Potongan murabahah adalah pengurangan kewajiban
pembeli akhir yang diberikan oleh lembaga keuangan
syariah sebagai pihak penjual.
Karakteristik
6. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau
tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan,
penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan
dari pembeli.
7. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat
mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang
yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat
pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset
murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam murabahah
pesanan mengikat, mengalami penurunan nilai sebelum
diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut
menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad.
8. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai
atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang
dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli
tetapi pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau
sekaligus pada waktu tertentu.
9. Akad murabahah memperkenankan penawaran harga
yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum
akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah
disepakati maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang
digunakan.
10. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga
jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika
penjual mendapatkan diskon sebelum akad murabahah maka
potongan itu merupakan hak pembeli. Sedangkan diskon yang
diterima setelah akad murabahah disepakati maka sesuai
dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam
akad maka potongan tersebut adalah hak penjual.
11. Diskon yang terkait dengan pembelian barang, antara
lain, meliputi:
(a) diskon dalam bentuk apapun dari pemasok atas pembelian
barang;
(b) diskon biaya asuransi dari perusahaan asuransi dalam
rangka pembelian barang; dan
(c) komisi dalam bentuk apapun yang diterima terkait dengan
pembelian barang.
12. Diskon atas pembelian barang yang diterima setelah
akad murabahah disepakati diperlakukan sesuai dengan
kesepakatan dalam akad tersebut. Jika akad tidak mengatur
maka diskon tersebut menjadi hak penjual.
13. Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan
atas piutang murabahah, antara lain, dalam bentuk barang yang
telah dibeli dari penjual.
14. Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli
sebagai bukti komitmen pembelian sebelum akad disepakati.
Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika
akad murabahah disepakati. Jika akad murabahah batal, uang
muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi dengan
kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih
kecil dari kerugian maka penjual dapat meminta tambahan dari
pembeli.
15. Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang
murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, penjual berhak
mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa pembeli
tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force
majeur. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir
yaitu untuk membuat pembeli lebih disiplin terhadap
kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang
diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda
diperuntukkan sebagai dana kebajikan.
16. Penjual boleh memberikan potongan pada saat
pelunasan piutang murabahah jika pembeli:
(a) melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu; atau
(b) melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu
yang telah disepakati.
17. Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang
murabahah yang belum dilunasi jika pembeli:
(a) melakukan pembayaran cicilan tepat waktu; dan atau
(b) mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN
Akuntansi untuk Penjual
18.Pada saat perolehan, aset murabahah diakui
sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
19.Pengukuran aset murabahah setelah perolehan
adalah sebagai berikut:
(a) jika murabahah pesanan mengikat:
(i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan
(ii) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang,
rusak atau kondisi lainnya sebelum diserahkan
ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui
sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
(b) jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah
pesanan tidak mengikat:
(i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai
bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih
rendah; dan
(ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih
rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya
diakui sebagai kerugian.
20.Potongan pembelian aset murabahah diakui sebagai
berikut:
(a) jika terjadi sebelum akad murabahah maka sebagai
pengurang biaya perolehan aset murabahah;
(b) jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad
yang disepakati maka bagian yang menjadi hak
nasabah:
(i) dikembalikan kepada nasabah jika nasabah
masih berada dalam proses penyelesaian
kewajiban; atau
(ii) kewajiban kepada nasabah jika nasabah telah
menyelesaikan kewajiban;
(c) jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad
yang menjadi bagian hak lembaga keuangan syariah
diakui sebagai tambahan keuntungan murabahah;
(d) jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan
dalam akad diakui sebagai pendapatan
operasi lain.
21. Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian
potongan pembelian akan tereliminasi pada saat:
(a) dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah
potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian;
atau
(b) dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak
dapat dijangkau oleh penjual.
22.Pada saat akad murabahah, piutang murabahah
diakui sebesar biaya perolehan aset murabahah ditambah
keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan
keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih
yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi
penyisihan kerugian piutang.
23.Keuntungan murabahah diakui:
(a) pada saat terjadinya akad murabahah jika dilakukan
secara tunai atau secara tangguh sepanjang masa
angsuran murabahah tidak melebihi satu periode
laporan keuangan; atau
(b) selama periode akad secara proporsional, jika akad
melampaui satu periode laporan keuangan.
24.Jika menerapkan pengakuan keuntungan secara
proporsional, maka jumlah keuntungan yang diakui dalam
setiap periode ditentukan dengan mengalikan persentase
keuntungan terhadap jumlah piutang yang jatuh tempo
pada periode yang bersangkutan. Persentase keuntungan
dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya
perolehan aset murabahah. Alokasi keuntungan dengan
menggunakan metode didasarkan pada konsep nilai waktu
dari uang (time value of money) tidak diperkenankan
karena tidak diakomodasikan dalam kerangka dasar.
25. Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara
proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya
perolehan aset (pokok) Rp 800,00 dan keuntungan Rp 200,00;
serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun;
dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui
setiap tahun adalah sebagai berikut:
Tahun Angsuran (Rp) Pokok (Rp) Keuntungan (Rp)
1 500,00 400,00 100,00
2 300,00 240,00 60,00
3 200,00 160,00 40,00
26.Potongan pelunasan piutang murabahah yang
diberikan kepada pembeli yang melunasi tepat waktu atau
lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui dengan
menggunakan salah satu metode berikut:
(a) jika diberikan pada saat penyelesaian maka penjual
mengurangi piutang murabahah dan keuntungan
murabahah; atau
(b) jika diberikan setelah penyelesaian maka penjual
terlebih dahulu menerima pelunasan piutang
murabahah dari pembeli, kemudian penjual membayar
potongan pelunasan kepada pembeli dengan
mengurangi keuntungan murabahah.
27.Potongan angsuran murabahah diakui sebagai
berikut:
(a) jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara
tepat waktu diakui sebagai pengurang keuntungan
murabahah;
(b) jika disebabkan oleh penurunan kemampuan
pembayaran pembeli diakui sebagai beban.
28.Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan
kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang
diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.
29.Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah
sebagai berikut:
(a) uang muka diakui sebagai uang muka pembelian
sebesar jumlah yang diterima;
(b) pada saat barang jadi dibeli oleh pembeli maka uang
muka diakui sebagai pembayaran piutang; dan
(c) jika barang batal dibeli oleh pembeli maka uang muka
dikembalikan kepada pembeli setelah diperhitungkan
dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
penjual .
Akuntansi Pembeli Akhir
30.Hutang yang timbul dari transaksi murabahah
tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga
beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan).
31.Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah
diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih
antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan
tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan.
32.Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara
proporsional dengan porsi hutang murabahah.
33.Diskon pembelian yang diterima setelah akad
murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang
murabahah sebagai pengurang beban murabahah
tangguhan.
34.Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam
melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai
kerugian.
35.Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal
membeli barang diakui sebagai kerugian.
PENYAJIAN
36.Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih
yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang murabahah
dikurangi penyisihan kerugian piutang.
37.Margin murabahah tangguhan disajikan sebagai
pengurang (contra account) piutang murabahah.
PENGUNGKAPAN
38.Lembaga keuangan syariah mengungkapkan halhal
yang terkait dengan transaksi murabahah, tetapi tidak
terbatas, pada:
(a) harga perolehan aset murabahah;
(b) janji pemesanan dalam murabahah berdasarkan
pesanan sebagai kewajiban atau bukan; dan
(c) pengungkapan yang diperlukan sesuai Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang
Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
KETENTUAN TRANSISI
39.Pernyataan ini berlaku secara prospektif untuk
transaksi murabahah yang terjadi setelah tanggal efektif.
Untuk meningkatkan daya banding laporan keuangan
maka entitas dianjurkan menerapkan Pernyataan ini
secara retrospektif.
TANGGAL EFEKTIF
40.Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan
penyajian laporan keuangan lembaga keuangan syariah
yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
PENARIKAN
41. Pernyataan ini menggantikan PSAK 59: Akuntansi
Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan,
pengukuran, penyajian dan pengungkapan murabahah.
DAFTAR ISI
Paragraf
PENDAHULUAN ........................................................... 01 - 17
Tujuan ................................................................................ 01
Ruang Lingkup ................................................................... 02 - 04
Definisi ............................................................................... 05
Karakteristik ...................................................................... 06 - 17
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ........................ 18 - 35
Akuntansi Untuk Penjual ................................................... 18 – 29
Akuntansi Untuk Pembeli .................................................. 30 – 35
PENYAJIAN.................................................................... 36 – 37
PENGUNGKAPAN ........................................................ 38
KETENTUAN TRANSISI ............................................ 39
TANGGAL EFEKTIF .................................................... 40
PENARIKAN .................................................................. 41


selengkapnya...

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 103


PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 103

AKUNTANSI SALAM
Paragraf yang dicetak dengan huruf tebal dan miring adalah paragraf standar. Paragraf Standar harus dibaca dalam kaitannya dengan paragraf penjelasan yang dicetak dengan huruf tegak (biasa). Pernyataan ini tidak wajib diterapkan untuk unsur-unsur yang tidak material (immaterial items).

PENDAHULUAN
Tujuan
1. Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi salam.
Ruang Lingkup
2. Pernyataan ini diterapkan untuk:
(a) lembaga keuangan syariah yang melakukan transaksi salam baik sebagai penjual maupun pembeli; dan
(b) pihak-pihak yang melakukan transaksi salam dengan lembaga keuangan syariah.
3. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad salam.
4. Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
(a) perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(b) lembaga keuangan syariah non-bank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun; dan
(c) lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan transaksi salam.

Definisi
5. Berikut ini adalah pengertian istilah yang digunakan dalam Pernyataan ini: Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan pengiriman di kemudian hari oleh muslam illaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Nilai wajar adalah suatu jumlah yang dapat digunakan untuk mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction) yang melibatkan pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai. Nilai tercatat adalah nilai yang diakui dalam neraca.

Karakteristik
6. Lembaga keuangan syariah dapat bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika lembaga keuangan syariah bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
7. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:
(a) akad antara lembaga keuangan syariah (pembeli) dan produsen (penjual) terpisah dari akad antara lembaga keuangan syariah (penjual) dan pembeli akhir; dan
(b) kedua akad tidak saling bergantung (ta’alluq).
8. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bertindak sebagai pembeli, lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada penjual untuk menghindari risiko yang merugikan.
9. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggungjawab atas kelalaiannya.
10. Alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa kas, barang atau manfaat. Pelunasan harus dilakukan pada saat akad disepakati dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang penjual atau penyerahan piutang pembeli dari pihak lain.
11. Transaksi salam dilakukan karena pembeli berniat memberikan modal kerja terlebih dahulu untuk memungkinkan penjual (produsen) memproduksi barangnya, barang yang dipesan memiliki spesifikasi khusus, atau pembeli ingin mendapatkan kepastian dari penjual. Transaksi salam diselesaikan pada saat penjual menyerahkan barang kepada pembeli.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN
Akuntansi untuk Pembeli
12.Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual.
13.Modal usaha salam dapat berupa kas dan asset nonkas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar. Selisih antara nilai wajar dan nilai tercatat modal usaha nonkas yang diserahkan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat penyerahan modal usaha tersebut.
14.Penerimaan barang pesanan diakui dan diukur sebagai berikut:
(a) jika barang pesanan sesuai dengan akad dinilai sesuainilai yang disepakati;
(b) jika barang pesanan berbeda kualitasnya, maka: (i) barang pesanan yang diterima diukur sesuai dengan nilai akad, jika nilai pasar (nilai wajar jika nilai pasar tidak tersedia) dari barang pesanan yang diterima nilainya sama atau lebih tinggi dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad; (ii) barang pesanan yang diterima diukur sesuai nilai pasar (nilai wajar jika nilai pasar tidak tersedia) pada saat diterima dan selisihnya diakui sebagai kerugian, jika nilai pasar dari barang pesanan lebih rendah dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad;
(c) jika pembeli tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan pada tanggal jatuh tempo pengiriman, maka: (i) jika tanggal pengiriman diperpanjang, nilai tercatat piutang salam sebesar bagian yang belumdipenuhi tetap sesuai dengan nilai yang tercantum dalam akad; (ii) jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka piutang salam berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh penjual sebesar bagian yang tidak dapat dipenuhi; dan (iii) jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan pembeli mempunyai jaminan atas barang pesanan serta hasil penjualan jaminan tersebut lebih kecil dari nilai piutang salam, maka selisih antara nilai tercatat piutang salam dan hasil penjualan jaminan tersebut diakui sebagai piutang kepada penjual yang telah jatuh tempo. Sebaliknya, jika hasil penjualan jaminan tersebut lebih besar dari nilai tercatat piutang salam maka selisihnya menjadi hak penjual.
15.Pembeli dapat mengenakan denda kepada penjual, denda hanya boleh dikenakan kepada penjual yang mampu menyelesaikan kewajibannya, tetapi sengaja tidak melakukannya. Hal ini tidak berlaku bagi penjual yang tidak mampu menunaikan kewajibannya karena force majeur. Denda dikenakan jika penjual lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.
16.Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Akuntansi untuk Penjual
17.Kewajiban salam diakui pada saat penjual menerima modal usaha salam sebesar modal usaha salam yang diterima.
18.Modal usaha salam yang diterima dapat berupa kas dan aset nonkas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar.
19.Kewajiban salam dihentikan pengakuannya (derecognation) pada saat penyerahan barang kepada pembeli. Jika penjual melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah yang dibayar oleh pembeli akhir dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat penyerahan barang pesanan oleh penjual ke pembeli akhir.

PENYAJIAN
20.Pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai piutang salam.
21.Piutang yang harus dilunasi oleh penjual karena tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam transaksi salam disajikan secara terpisah dari piutang salam.
22.Penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima sebagai kewajiban salam.

PENGUNGKAPAN
23.Lembaga keuangan syariah mengungkapkan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

KETENTUAN TRANSISI
24.Pernyataan ini berlaku secara prospektif untuk transaksi salam yang terjadi setelah tanggal efektif. Untuk meningkatkan daya banding laporan keuangan maka entitas dianjurkan menerapkan Pernyataan ini secara retrospektif.

TANGGAL EFEKTIF
25.Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
PENARIKAN
26. Pernyataan ini menggantikan PSAK 59: Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi salam.



















EXPOSURE DRAFT
PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN
AKUNTANSI SALAM
Diterbitkan oleh
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
Jl. Sindanglaya No. 1 Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telp. (021) 319 04232
Fax. (021) 724 5078
Homepage: www.iaiglobal.or.id
Email: iai-info@iaiglobal.or.id
ii Hak Cipta © 2006 IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Akuntansi Salam ED PSAK No. 103 (Revisi 2006)
ED Syariah No. 103ok.pmd 9 11/15/2006, 3:43 PM





DAFTAR ISI
Paragraf
PENDAHULUAN .................................................................................................... 01 - 11
Tujuan ........................................................................................................................................... 01
Ruang Lingkup ...................................................................................................................... 02 - 04
Definisi .......................................................................................................................................... 05
Karakteristik .......................................................................................................................... 06 - 11
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ............................................................................ 12 – 19
Akuntansi Untuk Pembeli .................................................................................................... 12 – 16
Akuntansi Untuk Penjual ...................................................................................................... 17 – 19
PENYAJIAN........................................................................................................................ 20 – 22
PENGUNGKAPAN .................................................................................................................... 23
KETENTUAN TRANSISI ........................................................................................................ 24
TANGGAL EFEKTIF ............................................................................................................... 25
PENARIKAN .............................................................................................................................. 26


selengkapnya...

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 104


PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 104

AKUNTANSI ISTISHNA'

Paragraf yang dicetak dengan huruf tebal dan miring adalah paragraf standar. Paragraf Standar harus dibaca dalam kaitannya dengan paragraf penjelasan yang dicetak dengan huruf tegak (biasa). Pernyataan ini tidak wajib diterapkan untuk unsur-unsur yang tidak material (immaterial items)
PENDAHULUAN
Tujuan
1. Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi istishna'.

Ruang Lingkup
2. Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi istishna' baik sebagai penjual maupun pembeli.
3. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad istishna'.
Definisi
4. Berikut ini adalah pengertian istilah yang digunakan dalam Pernyataan ini:
Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni') dan penjual (pembuat, shani').
Istishna' paralel adalah suatu bentuk akad istishna' antara pemesan (pembeli, mustashni') dengan penjual (pembuat, shani'), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual memerlukan pihak lain sebagai shani'.
Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.

Karakteristik
5. Berdasarkan akad istishna', pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu') sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh.
6. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.
7. Barang pesanan harus memenuhi kriteria:
(a) memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati;
(b) sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized) bukan produk massal; dan
(c) harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya.
8. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
9. Entitas dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna'. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (produsen atau kontraktor) untuk membuat barang pesanan juga dengan cara istishna' maka hal ini disebut istishna' paralel.
10. Istishna' paralel dapat dilakukan dengan syarat akad pertama, antara entitas dan pembeli akhir, tidak bergantung (mu'allaq) dari akad kedua, antara entitas dan pihak lain.
11. Pada dasarnya istishna' tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:
(a) kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau
(b) akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
12. Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:
(a) jumlah yang telah dibayarkan; dan
(b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN AKUNTANSI PENJUAL
Penyatuan dan Segmentasi Akad
13.Bila suatu akad istishna' mencakup sejumlah aset, pengakuan dari setiap aset diperlakukan sebagai suatu akad yang terpisah jika:
(a) proposal terpisah telah diajukan untuk setiap aset;
(b) setiap aset telah dinegosiasikan secara terpisah dimana penjual dan pembeli dapat menerima atau menolak bagian akad yang berhubungan dengan masing-masing aset tersebut; dan
(c) biaya dan pendapatan masing-masing aset dapat diidentifikasikan.
14.Suatu kelompok akad istishna', dengan satu atau beberapa pembeli, harus diperlakukan sebagai satu akad istishna' jika:
(a) kelompok akad tersebut dinegosiasikan sebagai satu paket;
(b) akad tersebut berhubungan erat sekali, sebetulnya akad tersebut merupakan bagian dari akad tunggal dengan suatu margin keuntungan; dan
(c) akad tersebut dilakukan secara serentak atau secara berkesinambungan.
15.Jika ada pemesanan aset tambahan dengan akad istishna' terpisah, tambahan aset tersebut diperlakukan sebagai akad yang terpisah jika:
(a) aset tambahan berbeda secara signifikan dengan asset dalam akad istishna' awal dalam desain, teknologi atau fungsi; atau
(b) harga aset tambahan dinegosiasikan tanpa terkait harga akad istishna' awal.
Pendapatan Istishna' dan Istishna' Paralel
16.Pendapatan istishna' diakui dengan menggunakan metode persentase penyelesaian atau metode akad selesai.
Akad dikatakan selesai jika proses pembuatan barang pesanan selesai dan diserahkan kepada pembeli.
17.Jika metode persentase penyelesaian digunakan, maka:
(a) bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dalam periode tersebut diakui sebagai pendapatan istishna' pada periode yang bersangkutan;
(b) bagian margin keuntungan istishna' yang diakui selama periode pelaporan ditambahkan kepada asset istishna' dalam penyelesaian; dan
(c) pada akhir periode harga pokok istishna' diakui sebesar biaya istishna' yang telah dikeluarkan sampai dengan periode tersebut.
18.Jika estimasi persentase penyelesaian akad dan biaya untuk penyelesaiannya tidak dapat ditentukan secara rasional pada akhir periode laporan keuangan, maka digunakan metode akad selesai dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) tidak ada pendapatan istishna' yang diakui sampai dengan pekerjaan tersebut selesai;
(b) tidak ada harga pokok istishna' yang diakui sampai dengan pekerjaan tersebut selesai;
(c) tidak ada bagian keuntungan yang diakui dalam istishna' dalam penyelesaian sampai dengan pekerjaan tersebut selesai; dan
(d) pengakuan pendapatan istishna', harga pokok istishna', dan keuntungan dilakukan hanya pada akhir penyelesaian pekerjaan.

Istishna' dengan Pembayaran Tangguh
19.Jika menggunakan metode persentase penyelesaian dan proses pelunasan dilakukan dalam periode lebih dari satu tahun dari penyerahan barang pesanan, maka pengakuan pendapatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
(a) margin keuntungan pembuatan barang pesanan yang dihitung apabila istishna' dilakukan secara tunai diakui sesuai persentase penyelesaian; dan
(b) selisih antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui selama periode pelunasan secara proporsional sesuai dengan jumlah pembayaran.
20. Meskipun istishna' dilakukan dengan pembayaran tangguh, penjual harus menentukan nilai tunai istishna' pada saat penyerahan barang pesanan sebagai dasar untuk mengakui margin keuntungan terkait dengan proses pembuatan barang pesanan. Margin ini menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan dari proses pembuatan barang pesanan. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai akad dalam istishna' dengan pembayaran langsung adalah harga yang disepakati antara penjual dan pembeli akhir. Hubungan antara biaya perolehan, nilai tunai, dan nilai akad diuraikan dalam contoh sebagai berikut:
Biaya Perolehan (biaya produksi) Rp 1.000,00
Margin keuntungan pembuatan barang pesanan 200,00
Nilai tunai pada saat penyerahan barang pesanan 1.200,00
Nilai akad untuk pembayaran secara angsuran selama tiga tahun 1.600,00
Selisih nilai akad dan nilai tunai yang diakui selama tiga tahun Rp 400,00
21.Jika menggunakan metode akad selesai dan proses pelunasan dilakukan dalam periode lebih dari satu tahun dari penyerahan barang pesanan maka pengakuan pendapatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
(a) margin keuntungan pembuatan barang pesanan yang dihitung apabila istishna' dilakukan secara tunai, diakui pada saat penyerahan barang pesanan; dan
(b) selisih antara nilai akad dan nilai tunai pada saat penyerahan diakui selama periode pelunasan secara proporsional sesuai dengan jumlah pembayaran
22.Tagihan setiap termin kepada pembeli diakui sebagai piutang istishna' dan termin istishna' (istishna' billing) pada pos lawannya.
23. Penagihan termin yang dilakukan oleh penjual dalam transaksi istishna' dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad dan tidak selalu sesuai dengan persentase penyelesaian pembuatan barang pesanan.

Biaya Perolehan Istishna'
24.Biaya perolehan istishna' terdiri dari:
(a) biaya langsung yaitu bahan baku dan tenaga kerja langsung untuk membuat barang pesanan; dan
(b) biaya tidak langsung adalah biaya overhead, termasuk biaya akad dan praakad.
25. Biaya praakad diakui sebagai beban tangguhan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna' jika akad disepakati. Namun jika akad tidak disepakati, maka biaya tersebut di bebankan pada periode berjalan.
26.Biaya perolehan istishna' yang terjadi selama periode laporan keuangan, diakui sebagai aset istishna' dalam penyelesaian pada saat terjadinya.
27. Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan pengembangan tidak termasuk dalam biaya istishna'.

Biaya Perolehan Istishna' Paralel
28.Biaya istishna' paralel terdiri dari:
(a) biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan produsen atau kontraktor kepada entitas;
(b) biaya tidak langsung adalah biaya overhead, termasukbiaya akad dan praakad; dan
(c) semua biaya akibat produsen atau kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya, jika ada.
29.Biaya perolehan istishna' paralel diakui sebagai aset istishna' dalam penyelesaian pada saat diterimanya tagihan dari produsen atau kontraktor sebesar jumlah tagihan.
Penyelesaian Awal
30.Jika pembeli melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo dan penjual memberikan potongan, maka potongan tersebut sebagai pengurang pendapatan istishna'.
31. Pengurangan pendapatan istishna' akibat penyelesaian awal piutang istishna' dapat diperlakukan sebagai:
(a) potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang istishna' pada saat pembayaran; atau
(b) penggantian (reimbursed) kepada pembeli sebesar jumlah keuntungan yang dihapuskan tersebut setelah menerima pembayaran piutang istishna' secara keseluruhan.

Perubahan Pesanan dan Tagihan Tambahan
32.Pengaturan pengakuan dan pengukuran atas pendapatan dan biaya istishna' akibat perubahan pesanan dan tagihan tambahan adalah sebagai berikut:
(a) nilai dan biaya akibat perubahan pesanan yang disepakati oleh penjual dan pembeli ditambahkan kepada pendapatan istishna' dan biaya istishna';
(b) jika kondisi pengenaan setiap tagihan tambahan yang dipersyaratkan dipenuhi, maka jumlah biaya setiap tagihan tambahan yang diakibatkan oleh setiap tagihan akan menambah biaya istishna'; sehingga pendapatan istishna' akan berkurang sebesar jumlahpenambahan biaya akibat klaim tambahan
(c) perlakuan akuntansi (a) dan (b) juga berlaku pada istishna' paralel, akan tetapi biaya perubahan pesanan dan tagihan tambahan ditentukan oleh produsen atau kontraktor dan disetujui penjual berdasarkan akad istishna' paralel.

Pengakuan Taksiran Rugi
33.Jika besar kemungkinan terjadi bahwa total biayaperolehan istishna' akan melebihi pendapatan istishna', taksiran kerugian harus segera diakui.
34. Jumlah kerugian semacam itu ditentukan tanpa memperhatikan:
(a) apakah pekerjaan istishna' telah dilakukan atau belum;
(b) tahap penyelesaian pembuatan barang pesanan; atau
(c) jumlah laba yang diharapkan dari akad lain yang tidak diperlakukan sebagai suatu akad tunggal sesuai paragraph

AKUNTANSI PEMBELI
35.Pembeli mengakui aset istishna' dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna' kepada penjual.
36.Aset istishna' yang diperoleh melalui transaksi istishna' dengan pembayaran tangguh lebih dari satu tahun diakui sebesar biaya perolehan tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dalam akad istishna' tangguh dan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban istishna' tangguhan.
37.Beban istishna' tangguhan diamortisasi secara proporsional sesuai dengan porsi pelunasan hutang istishna'.
38.Jika barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau kesalahan penjual dan mengakibatkan kerugian pembeli, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Jika kerugian tersebut melebihi garansi penyelesaian proyek, maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
39.Jika pembeli menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada penjual, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada penjual dan jika diperlukan dibentuk penyisihan kerugian piutang.
40.Jika pembeli menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
41.Dalam istishna' paralel, jika pembeli menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna'. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.

PENYAJIAN
42.Penjual menyajikan dalam laporan keuangan halhal sebagai berikut:
(a) Piutang istishna' yang berasal dari transaksi istishna' sebesar jumlah yang belum dilunasi oleh pembeli akhir.
(b) Termin istishna' yang berasal dari transaksi istishna' sebesar jumlah tagihan termin penjual kepada pembeli akhir.
43.Pembeli menyajikan dalam laporan keuangan halhal sebagai berikut:
(a) Hutang ishtisna' sebesar tagihan dari produsen atau kontraktor yang belum dilunasi.
(b) Aset istishna' dalam penyelesaian sebesar: (i) persentase penyelesaian dari nilai kontrak penjualan kepada pembeli akhir, jika istishna' paralel; atau (ii) kapitalisasi biaya perolehan, jika istishna'.

PENGUNGKAPAN
44.Entitas mengungkapkan transaksi istishna' dalam laporan keuangan, tetapi tidak terbatas, pada:
(a) metode akuntansi yang digunakan dalam pengukuran pendapatan dan keuntungan kontrak istishna';
(b) metode yang digunakan dalam penentuan persentase penyelesaian kontrak yang sedang berjalan;
(c) rincian piutang istishna' berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis mata uang, dan kualitas piutang;
(d) rincian hutang istishna' berdasarkan jumlah, jangka waktu dan jenis mata uang; dan
(e) pengungkapan yang diperlukan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
KETENTUAN TRANSISI
45.Pernyataan ini berlaku secara prospektif untuk transaksi istishna' yang terjadi setelah tanggal efektif. Untuk meningkatkan daya banding laporan keuangan maka entitas dianjurkan menerapkan Pernyataan ini secara retrospektif.

TANGGAL EFEKTIF
46.Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2007.

PENARIKAN
47. Pernyataan ini menggantikan PSAK 59: Akuntansi Perbankan Syariah, yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna'.










EXPOSURE DRAFT
PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN
AKUNTANSI ISTISHNA'
Diterbitkan oleh
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
Jl. Sindanglaya No. 1 Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telp. (021) 319 04232
Fax. (021) 724 5078
Homepage: www.iaiglobal.or.id
Email: iai-info@iaiglobal.or.id
ii Hak Cipta © 2006 IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Akuntansi Istishna' ED PSAK No. 104 (Revisi 2006)
ED Syariah No. 104.pmd 13 11/15/2006, 3:46 PM





DAFTAR ISI
Paragraf
PENDAHULUAN .................................................................................................... 01 - 11
Tujuan .......................................................................................................................................... 01
Ruang Lingkup ..................................................................................................................... 02 - 03
Definisi ........................................................................................................................................ 04
Karakteristik ......................................................................................................................... 05 - 12
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ............................................................................ 13 – 41
AKUNTANSI PENJUAL ................................................................................................. 13 – 34
Penyatuan dan Segmentasi Akad ........................................................................................ 13 – 15
Pendapatan Istishna' dan Istishna' Paralel........................................................................... 16 – 18
Istishna dengan Pembayaran Tangguh ................................................................................ 19 – 23
Biaya Perolehan Istishna' ..................................................................................................... 24 – 27
Biaya Perolehan Istishna' Paralel ......................................................................................... 27 – 29
Penyelesaian Awal ............................................................................................................... 30 – 31
Perubahan Pesanan dan Tagihan Tambahan ................................................................................ 32
Pengakuan Taksiran Rugi ...................................................................................................... 33 - 34
AKUNTANSI PEMBELI ................................................................................................... 35 – 41
PENYAJIAN........................................................................................................................ 42 – 43
PENGUNGKAPAN .................................................................................................................... 44
KETENTUAN TRANSISI ......................................................................................................... 45
TANGGAL EFEKTIF ................................................................................................................ 46
PENARIKAN .............................................................................................................................. 47


selengkapnya...