Jumat, Maret 06, 2009

Perbandingan Antara Akutansi Konvensional dan Syariah

Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi "amunisi" baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari'ah.
Pembahasan

Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.

Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

Akutansi shari'ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

Usaha untuk memberikan "warna lain" agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari'ah. Dengan akutansi shari'ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

Akuntansi shari'ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari'ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat "penghubung" antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari'ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada "nilai ibadah" secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan "ibadah sosial" bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui".8

Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi "ibadah lanjutan" dari "ibadah" sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah".9

Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari'ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11

Dengan berlandaskan al-Qur'an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari'ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada "Raja"nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada "Sang Raja".
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".12

إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

"Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya".13

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan".14

Laporan keuangan yang berbasiskan shari'ah mempunyai "ruang dan peluang" tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari'ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari'ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari'ah mempunyai kelebihan "keterpercayaan" dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
Kesimpulan

Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh "seperangkat aturan" yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.

Akutansi shari'ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai "ibadah". Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.
Bibliografi

Antonio, Syafi'i, M.,
Bank Syari'ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Arifin, Syamsul, Agus Purwadi dan Khoirul Habib,
Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996.
Harahap, Sofyan Syafri,
Akutansi Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
Muhammad,
Manajemen Bank Syari'ah, Yogyakarta: AMP YKPN, tt.
_________,
Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
_________,
Teori Akutansi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999.
Tiyuwono, Iwan,
Organisasi dan Akutansi Syari'ah, Yogyakarta: LkiS, 2000.
_________,
"Akutansi Syari'ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah"' Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997.
__________,
Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari'ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

1 M. Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 252.

2 Iwan Triyuwono, "Akutansi Syari'ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah" Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997, 3-4.

3 Akutansi dan ..., 27.

4 Lihat Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akutansi Syari'ah (Yogyakarta: LkiS, 2000), xiv.

5 Sofyan Syafri Harahap, Teori Akutansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 98-99.

6 Stockholders adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham perusahaan. Entity adalah perusahaan sebagai sebuah entitas yang terlepas dari stockholders.

7 Syamsul Arifin, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), 76-77.

8 Q.S al-Mulk, 14.

9 Q.S al-Dzariat, 56.

10 Lihat: Sofyan Syafri Harahap, Akutansi Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), 154-155.

11 Lihat Iwan Triyuwono, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuajn Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari'ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

12 Q.S al-Baqarah 30.

13 Q.S Thaha, 15.

14 Q.S al-Nur, 24.

Penulis: M. Aqim Adlan
Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

0 komentar:

Posting Komentar