Minggu, April 05, 2009

TINJAUAN TEORITIS PERBANKAN SYARIAH1

TINJAUAN TEORITIS PERBANKAN SYARIAH1
Sistem ekonomi Syariah, atau adakalanya disebut “ekonomi Islam”, semakin populer
bukan hanya di negara-negara Islam tapi bahkan juga di negara-negara barat. Ini ditandai
dengan makin banyaknya beroperasi bank-bank yang menerapkan konsep syari'ah. Ini
membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam perekonomian bisa diterima di
berbagai kalangan, karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif.
Dasar-dasar ekonomi Syariah sudah ada sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi
Muhammad SAW yang menerapkan etika dalam berdagang. Perkembangannya terhenti
karena menguatnya kelompok sosialis dan kapitalis di Eropa. Pemikiran untuk menerapkan
sistem perekonomian yang Islami muncul kembali sebagai konsep alternatif, ketika kedua
sistem tersebut ternyata tidak memuaskan.
Banyak kalangan melihat Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai
faktor penghambat pembangunan. Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini
menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang
bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi (Antonio, 2001).
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia
khususnya Indonesia, adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu
yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Hal ini terlihat dari kenyataan
sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi
dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara. Sekaranglah momentum yang tepat
untuk membuktikan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama “kemitraan” dan
“kebersamaan” (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang
lebih adil dan transparan.
2.1. Perkembangan dan Permasalahan Perbankan Syariah di Indonesia
2.1.1. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syariah di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan antar bangsa dalam suasana
yang damai dan tidak bergejolak. Pendekatan perniagaan yang digunakan oleh para da’i yang
juga merupakan pedagang ternyata sangat cocok dengan kondisi sosio-kultural saat itu.
Islam dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang dengan cepat hampir di seluruh
pesisir utama Nusantara. Lalu kemudian, munculah kerajaan-kerajaan Islam yang juga
melakukan perdagangan dengan luar. Hubungan dagang tersebut terutama dengan kerajaan
Islam sangat kuat dan dilandasi bukan saja oleh semangat perniagaan melainkan juga oleh
roh ukhuwah Islamiyah.
Masuknya Islam ke Indonesia bersamaan dengan melemahnya kekuatan dunia Islam
di hampir seluruh bidang kehidupan dan bangkitnya kembali dunia Barat. Akibatnya,
perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat tumbuh dengan sehat dan cepat. Dalam
1Merupakan bagian dari penelitian “Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah“
tahun 2005.
keadaan demikian, penjajah Barat datang untuk menguasai. Dampaknya adalah, dalam kurun
waktu 3,5 abad, pertumbuhan Islam mengalami stagnansi, kemandegan, bahkan
keterbelakangan. Dalam masa itu, umat Islam tidak memiliki banyak peluang untuk maju.
Babak baru yang penting baru diperoleh pada awal abad ke dua puluh, dengan berdirinya
Syarikat Islam (SI) pada tahun 1906. Kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia ini
bersamaan pula dengan kebangkitan umat Islam secara global.
Jika dicermati, terdapat beberapa perbedaan wacana antara perkembangan pemikiran
ekonomi Islam di Indonesia dengan berbagai belahan dunia Islam lainnya, terutama di Timur
Tengah (Basri, 2000). Selama paruh pertama abad dua puluh para ulama dan tokoh
masyarakat Islam di Indonesia lebih memikirkan nasib ekonomi umat Islam yang sejak dulu
selalu dipinggirkan oleh penjajah Belanda, karena itu kurang memikirkan dan menggali
sistem ekonomi Islam tersendiri yang rohnya diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sikap
kompromi dan akomodatif terhadap sistem keuangan dan finansial konvensional pada masa
itu, sangat berbeda dengan perkembangan wacana di dunia Islam lainnya.
Menurut Khursid Ahmad (dalam Basri, 2000), yang dikenal sebagai bapak Ekonomi
Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam. Tahapan
Pertama, dimulai pada pertengahan dekade 19930-an ketika sebagian ulama, yang tidak
memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman
terhadap persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan
bunga. Para ulama berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus
meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Para ulama saat itu
mengundang para ekonom dan bankir untuk mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan
pada prinsip syariah dan bukan bunga. Hal yang menonjol dalam pendekatan ini adalah
adanya keyakinan yang begitu kuat akan haramnya bunga dan pengajuan alternatif.
Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahap ini para ekonom
Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika
Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem
moneter Islam. Analisis ekonomi terhadap larangan riba dan mengajukan alternatif
perbankan yang tidak berbasis bunga telah dilakukan. Serangkaian konferensi dan seminar
internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam diadakan. Konferensi internasional
pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976.
Kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil konferensi dan seminar adalah laporan
yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari
ekonomi. Pada tahapan kedua ini muncul tokoh-tokoh ekonom muslim terkenal di seluruh
dunia Islam.
Tahapan ketiga ditandai dengan adanya upaya konkrit untuk mengembangkan
perbankan dan lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor
pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material
para ekonom, pakar, bankir, para pengusaha dan hartawan Muslim yang memiliki kepedulian
pada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahap ini sudah didirikan bank Islam dan lembaga
investasi berbasis non-riba dengan konsep yang jelas dan pemahaman yang lebih mapan.
Bank yang pertama didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di
Jeddah, Saudi Arabia dan merupakan kerjasama antara negara Islam yang tergabung dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Kini ekonomi Islam memasuki tahap keempat yang ditandai dengan pengembangan
pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan
praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator
ekonomi umat. Selama kurun waktu 6 tahun sejak tahun 1992 hingga 1998 hanya ada satu
bank Islam di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Disahkannya Undangundang
Perbankan No. 10 tahun 1998 telah memberikan landasan yang cukup luas bagi
berdirinya perbankan syariah di Indonesia, sehingga dalam kurun waktu kurang dari tiga
tahun telah bermunculan beberapa bank syariah.
Kedudukan perbankan syariah pada kenyataannya masih berkonsentrasi pada
masyarakat perkotaan dan lebih melayani usahan menengah ke atas. Sementara mayoritas
kaum Muslim berada di pedesaan dan memiliki usaha yang relatif kecil dan terbatas. Untuk
itu sekalipun sudah banyak berdiri bank Islam di tanah air, namun kaum Muslim di pedesaan
tetap saja belum mendapatkan akses yang optimal kepada sistem perbankan syariah. Untuk
itu dikembangkanlah lembaga keuangan syariah yaitu Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT) yang dapat berinteraksi dengan umat di pedesaan
dengan kemudahan dalam pemberian pembiayaan usaha kecil dan mikro. Lembaga inilah
yang mewarnai keunikan dari perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia
dibandingkan dengan yang berkembang di negara Islam lainnya.
Konsep ekonomi syariah di Indonesia bukan lagi semata-mata sebagai alternatif sistem
perekonomian di masa depan tetapi sudah menjadi keharusan. Karena hubungannya bukan
pada Islam semata, tapi Islam sebagai rahmat lil 'alaamin yang kaitannya adalah ibadah secara
vertikal maupun horisontal. Konsep syariah yang diterapkan di bank-bank sudah
membuktikan, bagaimana penyaluran pembiayaan di bank syariah selalu berpihak pada sektor
riil, dengan angka finance to deposit ratio yang relatif tinggi. Kehadiran bank syariah terbukti bisa
diarahkan untuk mendorong tumbuhnya sektor riil, usaha kecil dan menengah yang selama
ini menjadi primadona dan tulang punggung di masa krisis.
Potensi ekonomi berbasis syariah di Indonesia cukup besar, tapi semuanya
tergantung pada kesungguhan semua pihak yang terkait dan para stakeholders yang
menentukan perkembangan ekonomi syariah. Dukungan yang paling mendesak untuk saat
ini adalah dukungan politis dari pemerintah untuk mendorong perekonomian yang Islami.
Dukungan ini harus dimanifestasikan dengan program-program ekonomi dan kebijakan
ekonomi pemerintah.
2.1.2. Perkembangan Praktek Perbankan Syariah di Indonesia
Menurut Harisman (dalam Hamidi, 2003), sistem perekonomian yang sesuai dengan
prinsip syariah telah melembaga sejak lama, terlihat dari praktek sistem bagi hasil pada usaha
pertanian. Demikian pula halnya pada usaha penangkapan perikanan laut. Prinsip
menanggung risiko dan membagi keuntungan secara berkeadilan yang melandasinya
merupakan hakekat dari sistem ekonomi syariah.
Salah satu bentuk lain pola pembiayaan yang menggunakan prinsip syariah adalah
pembiayaan modal ventura, yang sempat menjadi program nasional, misalnya dengan
keberadaan Bahana Artha Ventura dan Perusahaan Modal Ventura Daerah di tiap propinsi
(Yasni, 2000). Tiga instrumen pembiayaan yang dikembangkan adalah saham, obligasi
konversi dan bagi hasil. Perjalanan ketiga instrumen tersebut telah mengalami pasang surut
yang sangat signifikan sesuai dengan pasang surut perekonomian Indonesia.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah menjadikan instrumen pembiayaan
saham dan obligasi konversi menjadi kurang diminati oleh modal ventura Indonesia karena
pengaruh negatif langsung yang besar terhadap modal ventura Indonesia sehubungan dengan
jatuh ruginya entitas-entitas usaha yang dibiayai dengan instrumen pembiayaan tersebut, serta
gagalnya exit alternatif melalui Initial Public Offering atas entitas usaha tersebut sebelum
perekonomian Indonesia memburuk. Untuk bereaksi terhadap kerugian historis dan
potensial yang diderita, maka modal ventura Indonesia menyiasati dengan memberlakukan
pola bagi hasil tetap ataupun pola bagi hasil minimum yang mengadopsi pola perbankan
konvensional (flat rate dan effective rate) dengan penetapan tingkat bunga tertentu ataupun
minimum atas outstanding pembiayaan yang diberikan kepada entitas usaha yang dibiayai
dengan pola bagi hasil. Reaksi ini telah membawa modal ventura Indonesia jauh dari
semangat modal ventura yang sesungguhnya. Semangat modal ventura yang sesungguhnya
sendiri sangat dekat dengan apa yang disebut pembiayaan syariah.
Dari sekian banyak kombinasi pembiayaan syariah, ada beberapa contoh instrumen
pembiayaan syariah yang sangat applicable dengan semangat modal ventura yang
sesungguhnya dengan masih mengaitkan ketiga instrumen pembiayaan modal ventura
Indonesia yang ada sekarang. Instrumen pembiayaan syariah tersebut antara lain adalah
musyarakah untuk pendirian usaha atau proyek yang dapat disejajarkan dengan instrumen
pembiayaan saham. Keuntungan atau kerugian kontrak proyek dinikmati atau ditanggung
bersama sesuai porsi modal atau profit-loss sharing yang ditetapkan dalam kesepakatan awal.
Sementara itu, prinsip mudharabah dapat disejajarkan dengan instrumen pembiayaan obligasi
(quasi equity) seperti obligasi konversi.
Menurut Cagarata (2000), produk pembiayaan syariah telah membawa kemajuan di
Indonesia. Datangnya krisis di Asia yang menyebabkan naiknya suku bunga secara tajam di
Indonesia, mempengaruhi kemunduran satu per satu perusahaan. Namun, ditemukan
beberapa perusahaan yang tetap bertahan bahkan semakin berkembang karena bekerjasama
dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Ekonomi syariah mulai dikenal melalui aktifitas perbankan, yaitu dengan berdirinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1991. Beberapa tahun belakangan ini, apalagi setelah
MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, maka bank berbasis Syariah mulai
bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya. Namun
demikian, secara umum perekonomian Syariah masih dianggap sebelah mata sebagai salah
satu sistem perekonomian yang seharusnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk keluar
dari krisis ekonomi yang masih melilit bangsa ini.
Tingginya respon terhadap perbankan syariah dipicu oleh ketidakpuasan terhadap
konsep dan operasi perbankan konvensional. Penyerahan risiko usaha terhadap salah satu
pihak dinilai melanggar norma keadilan, dimana risiko penghimpunan dana sepenuhnya
ditanggung oleh bank, sebaliknya risiko kredit sepenuhnya ditanggung oleh debitur. Dalam
jangka panjang sistem perbankan konvensional juga berpotensi menyebabkan penumpukan
kekayaan pada segelintir orang yang memiliki kapital besar (Sjahdeini, 1999).
Landasan hukum, yang menjadi titik tolak perkembangan bank syariah di Indonesia
adalah UU No 7 Tahun 1992, tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut prinsip syariah
sudah dinyatakan, meskipun masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi hasil.
Prinsip perbankan syariah secara tegas dinyatakan dalam UU No 10 Tahun 1998, yang
kemudian diperbaharuhi dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan
UU No 3 tahun 2004. Undang-undang ini memberikan arahan bagi bank konvensional
untuk membuka cabang syariah atau mengkonversikan diri menjadi bank syariah.
Perkembangan kinerja bank syariah meningkat cukup pesat, yang mengindikasikan
adanya respon postif dari masyarakat untuk mengadopsi produk bank syariah. Sampai
dengan bulan Mei 2004, perkembangan jumlah kantor bank syariah telah mencapai 353
kantor bank, dengan nilai asset sebesar 11.6 trilyun rupiah. Jumlah pembiayaan yang
disalurkan mencapai 7.56 trilyun rupiah dan dana pihak ketiga sebesar 7.77 trilyun rupiah.
Meskipun dari pertumbuhan usaha dan jumlah cukup banyak, tetapi peranan secara nasional
masih kecil dibandingkan dengan peranan bank secara nasional, yaitu sebesar satu persen.
Di tingkat dunia, kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaissance Islam Modern yaitu “neorevivalis” dan “modernis”. Upaya awal penerapan sistem
profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya
upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya
adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah telah
memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal
periode 1980-an bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia,
Bangladesh, serta Turki. Secara garis besar lembaga tersebut dapat dibagi dua kategori: bank
Islam komersial, dan lembaga investasi dalam bentuk international holding companies.
Di Pakistan, perkembangan bank syariah tahun 1979 adalah dengan menghapus
sistem bunga dari operasional tiga institusi, yaitu: National Investment, House Building
Finance Co, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan. Pada tahun 1985
seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem
perbankan syariah. Sedangkan di Mesir bank syariah pertama yang didirikan adalah Faisal
Islamic Bank pada tahun 1978, kemudian diikuti Islamic International Bank for Investment
and Development. Bank ini beroperasi sebagai bank investasi, bank perdagangan, maupun
bank komersial. Sementara di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan
tahun 1983 merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara.
2.2. Tinjauan Teoritis Paradigma dan Sistem Operasional Bank Syariah
2.2.1. Islam Sebagai Suatu Sistem Hidup
Kitab suci Al-Qor’an amat jelas mempermaklumkan bahwa Islam adalah agama yang
mendapat perkenan Tuhan, Allah SWT. Hal ini antara lain dapat dipahami dari firman-Nya:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah,
maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.(Q.S.(3/Ali ‘Imran):19)
Bahkan, lebih jauh kitab suci ini mempertanyakan:
“Apakah mereka masih mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan apa yang ada di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan”.(Q.S.(3/Ali ‘Imran):83)
Demikian itu, karena Islam, sesuai dengan pengertian literalnya yang berasal dari kata
salima – yaslamu – salam - salim, berarti menyelamatkan, menegakkan perdamaian,
penyerahan diri dan tunduk. Seseorang yang memeluk Agama Islam disebut Muslim. Seorang
muslim adalah orang yang menyerahkan diri sepanjang hidupnya untuk patuh dan tunduk
mengikuti dan melaksanakan seluruh ajaran Islam yang meliputi: ‘aqidah, syari’ah dan akhlaqnya.
Karena itu, ia dipandang telah menyelamatkan dirinya – bahkan keluarga dan
masyarakatnya – dari bencana (‘adzab) di dunia dan akhirat. Hal itu, karena seorang muslim
berarti pula telah “berdamai”2 dengan Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah telah memeilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali
dalam memeluk agama Islam”. (Q.S. al-Baqarah (2):132)
Ajaran Islam pada prinsipnya meliputi ‘aqidah, syari’ah dan akhlaq3. ‘Aqidah adalah
simpul atau ikatan berupa peraturan Allah SWT terhadap seseorang yang mengaku dan
mengikrarkan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Ikrar
pengakuan ini biasa dikenal dengan dua kalimat syahadat. Dengan mengucapkan kedua
kalimat syahadat tersebut, seorang muslim –seharusnya menyadari dengan sebenar-benarnya
bahwa dirinya - telah terikat dengan seluruh ajaran Allah SWT. Ia tidak memeliki kebebasan
untuk hidup memperturutkan dorongan hawa nafsunya. Jika seorang muslim ingin
memenuhi keinginan nafsunya, maka caranya harus sesuai dengan aturan Allah SWT.
Misalnya, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, kebutuhan biologis dan sebagainya harus
dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan dan ketentuan Allah SWT.
Prinsip ‘aqidah, pengakuan yang mengikat seorang dengan Allah Yang Maha Esa
semata, adalah berlaku sepanjang masa. Karena itu, ‘aqidah menjadi dasar dan pokok semua
ajaran agama-agama samawi. Akhlaq secara bahasa berasal dari khalaqa – yakhluqu – khalqun
atau khuluq – khaliq - makhluq mempunyai arti penciptaan. Sinonimnya adalah fathara –
yafthuru – fithrah - fathir. Berperilaku yang baik seperti jujur, dapat dipercaya, berlaku adil,
saling menolong, saling menghormati, dan sebagainya adalah akhlaq yang sesuai dengan
penciptaan manusia yang suci (fithrah). Islam memandang bahwa akhlaq (segala bentuk
perilaku dasar penciptaan) semua manusia adalah baik. Dalam kata lain, fthrah semua manusia
adalah suci. Karena itu, akhlaq berlaku untuk semua manusia sepanjang masa.
Berbeda dengan ‘aqidah dan akhlaq, syari’ah senantiasa berubah sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat peradaban manusia. Syari’ah yang dibawa oleh masing-masing Rasul
untuk diikuti oleh para pengikutnya tidak sama. Syari’ah Islam, sebagai syari’ah yang terakhir,
berfungsi meneruskan, melengkapi dan menyempurnakan syari’ah agama-syari’ah agama
terdahulu. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan atuturan
dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (Q.S.(Al-
Maidah) 5:48)
Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw. memberi tamsil dalam sabdanya:
2 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991, h. 46 - 48
3 Istilah yang dipergunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kata ‘aqidah dengan iman dan dysri’sh serta akhlaq dengan amal saleh,
lihat: Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidatun Wa Syari’atun, Mesir: Daar al-Qalam, 1966 h. 1- 4
“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, ibunya (syari’ahnya) berbeda-beda
sedangkan dinnya (‘aqidah tauhidnya) adalah satu”. (HR. Bukhari, Abu Dawud dan
Ahmad)
Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah hubungan manusia dengan Allah semata, tetapi
juga mengatur cara memandang dan memperlakukan dirinya sendiri, cara bergaul dan
berinteraksi dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya. Islam menjadi “ramburambu”
kehidupan yang mengatur semua aspek kehidupan manusia untuk menjamin
terwujud dan terpeliharanya kemaslahatan dan kebaikan jiwa manusia, harta, keturunan, akal
dan agamanya4.
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia, sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Manusia dianugerahi amanah untuk mengelola bumi dan semua isinya
dengan sebaik-baiknya dan harus sesuai dengan petunjuk-Nya agar terwujud kemaslahatan,
kemakmuran, perdamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Dalam kaitan ini Allah
berfirman:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekeafiran orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (Q.S.Faathir (35):39)
Bumi dan seluruh isinya sebagai amanah berarti bahwa kelak di hari kemudian
manusia akan diminta pertanggungjawabannya menyangkut kesesuaiannya dalam
pengelolaanya itu dengan petunjuk Allah SWT. Karena itu, bagi setiap muslim harus
menjadikan syari’ah Islam sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupannya sehari-hari.
Al-Qur’an memaknai hakekat kehidupan manusia dengan ujian, yaitu menguji siapakah di
antara manusia itu yang seluruh aktivitas kehidupannya paling sesuai dengan syari’ah Islam.
“Maha Suci Allah Yang di Tanga-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya5. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al-Mulk
(67):1 –2)
2.2.2. Pandangan Islam terhadap Harta dan Ekonomi
Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya
terhadap segala sesuatu yang ada di langit maupun di muka bumi ini, termasuk harta benda
yang diperoleh oleh setiap manusia bahkan diri manusia itu sendiri, adalah Allah SWT.
Kepemilikan manusia terhadap harta benda hanya bersifat relatif, sebatas hak pakai. Hak
pakai ini pun harus sesuai dengan petunjuk dan peraturan-Nya. Kelak setiap manusia akan
diminta pertanggungjawabannya tentang pemakaian harta benda yang dititipkan oleh Allah
itu telah sesuai atau tidak dengan petunjuk dan ketentuan-Nya. Semua harta benda telah
diamanatkan Allah kepada manusia agar dijadikan sarana beribadah kepada-Nya. Di samping
itu, selalu diingatkan Allah bahwa harta benda tidak hanya sebagai perhiasan hidup yang
menyenangkan, tetapi juga sebagai pengujian keimanan dan ketakwaan seseorang kepada-
Nya. Hal ini dimaksudkan agar harta benda itu diperoleh dan dibelanjakan
4 fazlur Rahman, Islam, New York: Anchor Books, 1968, h. 140 -146
5 Syarat yang harus dipenuhi agar seseorang meraih amal yang terbaik adalah: 1). Ikhlas, 2). Berilmu, dan 3). Dilaksanakan
dengan segera. Lihat Shafwat al-Bayan fi Ma’aan al-Qur’an.
(infaq=membelanjakan) dengan cara yang sesuai dengan petunjuk dan ketentuan yang telah
disyari’atkan Allah SWT.
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. …”.(Q.S.Al-Baqarah (2):284)
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi
apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran
di sisi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(Q.S. al-Baqarah (2):262)6
Segala bentuk kegiatan yang mengerahkan sumber daya yang dimiliki secara rasional
dan etis oleh setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidupnya
sebagai khalifah Allah – yang disebut sebagai kegiatan ekonomi - adalah wajib hukumnya
menurut Islam. Dalam literatur fiqih Islam, istilah ekonomi dikenal dengan nama aliqtishaadiah,
yang secara literal memiliki makna kesederhanaan, pertengahan, adil, hemat
dan sebagainya (Q.S.Luqman (31):19). Hal ini mengindikasikan bahwa Islam mengajarkan
agar dalam melakukan kegiatan ekonomi seseorang harus menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kesederhanaan, penghematan dan sebagainya. Ekonomi Islam pada prinsipnya
menunjuk kepada segala bentuk kegiatan yang memanfaatkan seluruh sumberdaya untuk
memproduksi barang dan jasa, mengkonsumsi dan mendistribusikannya sesuai dengan
petunjuk Allah SWT. dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan di muka bumi dan meraih
ridha-Nya. Dengan demikian, kegiatan ekonomi di dalam Islam diyakini sebagai bahagian dari
manifestasi ibadah kepada Allah SWT. dan melaksanakan tugas sebagai khalifah-Nya.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, maka sama seperti mujahid di jalan Allah”.
(H.R. Ahmad)
Petunjuk-petunjuk Allah mengenai kegiatan ekonomi secara garis besar telah
termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis Nabi (Q.S. al-Mulk (67):15, al-Baqarah
(2):60, 168, al-Maidah(5):87-88) Upaya untuk memahami petunjuk Allah dan Rasul-Nya
dalam bidang ekonomi telah dilaksanakan terus menerus oleh para ulama Islam sepanjang
zaman sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan segala kegiatan dan produk-produk
ekonomi. Dalam memahami petunjuk dan ketentuan yang disyari’atkan Allah dalam bidang
ekonomi ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaedah: “segala bentuk kegiatan dan
produk ekomi pada prinsipnya (hukum asalnya) adalah halal, kecuali terdapat dalil (petunjuk atau
ketentuan) secara eksplisit atau implisit yang melarang (mengharamkan) nya”.
2.2.3. Karakateristik Ekonomi Syariah
Agama Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bahagian
dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu dari kedua
ajaran Islam yang pokok lain yang tidak dapat dipisah-pisahkan: ‘aqidah dan akhlaq. Dalam
kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga
ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:
6 Ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan itu antara lain Q.S. Al-Baqarah (2):261, 262 dan 263
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaanperumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang
buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi,
tidak dapat tegak sedikitpun.” (Q.S.Ibrahim (14):24)
Ekonomi Islam yang selanjutnya disebut dengan ekonomi syari’ah dibangun,
ditegakkan dan dilaksanakan berdasarkan ruh dan spirit serta menjunjung tinggi nilai-nilai
sebagai berikut: 1). ‘aqidah tauhid, 2). keadilan, 3). Kebebasan, dan 4). Ke-mashlahat-an (akhlak
yang terpuji). Nilai-nilai kemuliaan itu disarikan dari firman Allah di dalam Q.S. at-Tkaatsur
(102):1–2), al-Munaafiquun (63):9, an-Nuur (24):37, al-Hasyr (59):7, al-Baqarah (2):188, 273–
281, al-Maidah (5):38, 90-91, al-Muthaffifin (83):1-6, dan sebagainya.
Dalam kaitan ini Al-Qur’an telah menyerukan agar setiap muslim melakukan segala
aktivitas kehidupannya termasuk dalam bidang ekonomi selalu bertumpu pada ‘aqidah tauhid.
Dalam hal ini berarti bahwa pencipta, pemilik dan penguasa segala yang ada hanyalah Allah
Yang Maha Esa saja. Karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam melakukan
kegiatan ekonomi selalu bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT dan bertujuan mencari
ridha-Nya. Kegiatan ekonomi yang berlandaskan ‘aqidah tauhid menjamin terwujudnya
kemaslahatan dan kebaikan perekonomian untuk masyarakat luas – bukan hanya masyarakat
muslim. Hal ini, karena ekonomi dalam pandangan Islam merupakan sarana dan fasilitas
yang dapat membantu pelaksanaan ibadah dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi yang
demikian dilaksanakan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang selalu merasakan kehadiran dan
pengawasan Allah SWT, sehingga selalu berhias dan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji,
keadilan, bebas dari segala tekanan untuk meraih kebaikan hidup yang diridhai Allah SWT.di
dunia dan di akhirat. Keterikatan kegiatan ekonomi yang berlandaskan ‘aqidah tauhid dengan
akhlak yang terpuji tidak dapat dipisahkan. Peranan ‘aqidah tauhid dan akhlak yang terpuji
dalam semua kegiatan setiap manusia, termasuk di dalamnya kegiatan bidang ekonomi,
adalah sangat penting. Kedua pokok ajaran Islam itu akan mengarahkan kegiatan
perekonomian ke jalan yang sesuai dengan syari’at Islam.
Keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, adalah kunci dan
dasar dari segala aktivitas manusia yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan,
ketenangan dan keamanan hidup di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ‘aqidah tauhid sebagai
fondasi dari seluruh kegiatan setiap muslim merupakan manifestasi dari keadilan. Sebaliknya,
syirk, menyekutukan Allah SWT, adalah bahagian dari kezaliman (Q.S.Luqman (31):13).
Keadilan merupakan sarana terdekat untuk menuju taqwa, yaitu suatu tingkatan akhlaq terpuji
yang paling tinggi (Q.S. al-Maidah (5):8) Oleh karena itu seluruh kebijakan dan kegiatan
perekonomian harus dilandasi prinsip keadilan dan secara intrinsik mewujudkan keadilan,
tolong menolong dan kemitraan. Ekonomi dalam pandangan Islam harus menjalankan dua
misi perekonomian sekaligus, yaitu pertumbuhan dan pemerataan distribusi. Pada tataran
teknis kedua misi itu tampak pada produk mudharabah (lost and profit sharing). Pada produk ini
pemilik modal dan pengelola modal ditempatkan pada posisi yang sejajar dan berkeadilan.
Lebih jauh, Al-Qur’an dan Hadis memandang prinsip keadilan sebagai salah satu
tujuan pokok syari’ah (Q.S. an-Nahl (16):90). Karena itu, para ulama Islam telah menetapkan
kesepakatannya bahwa prinsip berkeadilan merupakan syarat utama pelaksanaan kegiatan
perekonomian syari’ah untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Prinsip kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas melakukan seluruh kegiatan
perekonomian selama tidak ada petunjuk dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang
melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk kreativitas dan inovasi di bidang
perekonomian adalah merupakan keniscayaan. Pilar kebebasan yang melandasi aktivitas
ekonomi menanamkan ‘aqidah dan keyakinan pada setiap muslim untuk tidak patuh dan
tunduk selain kepada peraturan dan ketentuan Allah SWT. (Q.S. ar-Ra’d (13):36 dan Q.S.
Luqman (31):32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan Islam dari segala bentuk
perbudakan. Berkaitan dengan ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama
dari risalah kenabian Muhammad SAW. adalah membebaskan seluruh umat manusia untuk
mengabdi hanya kepada Allah Yang Maha Esa saja. Islam membebaskan seluruh pemeluknya
dari segala macam belenggu hawa nafsu, setan dan sebagainya (Q.S. al-A’raf (7):157)7.
Konsep Islam sangat jelas dan lantang bahwa manusia dilahirkan merdeka.
Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan negara sekalipun yang boleh merampas
kemerdekaan tersebut dan membuat manusia menjadi terikat. Dengan kata lain, manusia
diberi kebebasan sepanjang dapat mempertanggungjawabkan, baik kepada sosial maupun
kepada Allah. Islam menjamin kebebasan setiap individu yang dibingkai oleh akhlak yang
terpuji dan tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar serta tidak
mengabaikan hak-hak kebebasan orang lain. Berkaitan dengan ini, para ulama Islam telah
menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjamin hak-hak kebebasan
individu dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan
individu.
2. Menghilangkan kesulitan (dar’u al-mafasid) harus diprioritaskan dibanding menarik
manfaat (jalbu al-mashaalih), meskipun kedua-duanya sama-sama menjadi tujuan syari’ah.
3. Memperoleh kerugian yang lebih besar yang disebabkan mendahulukan tindakan untuk
menghilangkan kerugian yang lebih kecil tidak dapat diperkenankan. Sebaliknya demikian
juga, mengorbankan manfaat yang lebih besar untuk mempertahankan atau meraih
manfaat yang lebih kecil juga dilarang. Demikian juga menanggung resiko bahaya yang
lebih kecil untuk menghindarkan resiko bahaya yang lebih besar, atau mengorbankan
manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar adalah tindakan
yang dibenarkan.
Pertanggungjawaban dalam kegiatan ekonomi syari’ah memiliki arti bahwa manusia
sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambil
atau tindakan yang telah dilakukan. Manusia, menurut Islam, adalah makhluk yang
mempunyai kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan yang akan diambil. Konsekwensi
kebebasannya ini, kelak, akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Karena itu, hampir
tidak ditemukan di dalam perkembangan ekonomi Islam tindakan-tindakan yang didasari
oleh sikap positivesme – yang merupakan salah satu dari pilar penting dalam perekonomian
konvensional. Positivisme yang diartikan sebagai paham bebas nilai, bebas etika atau bebas
dari pertimbangan-pertimbangan normatif adalah bertentangan secara deametral dengan
sikap Islam yang mengakui bahwa segala yang dimiliki manusia adalah amanat, titipan, dari
7 Ayat Al-Qur’an tersebut mempunyai arti: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-
Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Allah SWT. Seluruh sumberdaya adalah karunia Allah yang dititipkan kepada manusia
sebagai sarana mempermudah pengabdiannya kepada-Nya. Karena itu segala tindakan
manusia menyangkut masalah ekonomi ini khususnya, kelak akan dimintakan
pertanggungjawabannya oleh Yang memberikan titipan, Allah SWT.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya8. Maka orang-orang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.(Q.S. al-
Hadid (57):7)
Karakteristik terpenting yang membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan
ekonomi konvensional adalah bahwa okonomi syaria’ah tidak dapat dipisahkan dengan
‘aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanivestasikan
dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji.
Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan,
kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan akhlak
yang tgerpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian Muhammad SAW.
“Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak memperkenankan
semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang
dari kemuliaan dan keutamaan yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
2.2.4. Pengertian Bank Syariah
Pengembangan perbankan yang didasarkan kepada konsep dan prinsip ekonomi
Islam merupakan suatu inovasi dalam sistem perbankan internasional. Meskipun telah lama
menjadi wacana pada kalangan publik dan para ilmuan muslim maupun nonmuslim, namun
pendirian institusi bank Islam secara komersial dan formal belum lama terwujud. Salah satu
bank terbesar di negara-negara arab, misalnya Bank Islam Faisal di Sudan dan Mesir, pertama
berdiri pada tahun 1977 (Naser dan Moutinho, 1977). Sementara di kawasan Asia Tenggara,
Bank Islam Malaysia Berhad telah didirikan pada tahun 1983 (Haron et. Al., 1994). Di
Indonesia, bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang telah berdiri
pada tahun 1992. Dalam kaitan ini, terdapat dua hal yang mendorong eksistensi dan
perkembangan perbankan Islam – yang selanjutnya di sini disebut dengan bank syariah –
adalah munculnya keinginan dan kebutuhan masyarakat serta keunggulan dan kelebihan yang
dimiliki bank syariah.
Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor
2/8/PBI/2000, pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud
dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan
undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syari’ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah”. Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalah
8 Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan mutlak. Hak milik pada hakekatnya pada Allah.
Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah. Karena itu tidak diperkenankan
kikir dan boros. Lihat catatan kaki Al-Qur’an dan Terjemahannya, Majma’ al-Malik Fahd, 1420 H.
unit kerja di kantor pusat bank konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor
cabang syariah.
Terdapat perbedaan mendasar antara bank konvensional dan bank syariah. Pertama,
dari segi akad dan aspek legalitas. Akad yang praktikkan dalam bank syariah memiliki
konsekwensi duniawi dan ukhrawi, dunia dan akhirat, karena akad yang dilakukan
berdasarkan hukum atau syari’at Islam. Jika terjadi perselisihan antara nasabah dan bank,
maka bank syariah dapat merujuk kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Kedua, dari sisi struktur organisas, Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama
dengan bank konvensional, namun unsur yang membedakannya adalah bahwa bank syariah
harus memilki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional dan produkproduk
bank agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam. Eksistensi Dewan
Syariah di dalm struktur organisasi bank syariah adalah wajib, bahkan bagi setiap bank yang
bersekala kecil sekalipun, seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) atau Baitul Mal
Wat Tamwil (BMT) harus mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
Ketiga, berkenaan dengan bisnis dan usaha yang dibiyai, haruslah bisnis dan usaha
yang diperkenankan atau dihalalkan oleh syari’at Islam. Kehalalan bisnis dan usaha
merupakan syarat mutlak agar suatu bidang usaha itu halal untuk dibiayai oleh perbankan
syariah. Karena itulah, secara langsung atau tidak langsung perbankan Islam tidaklah sematamata
merupakan institusi ekonomi, tetapi juga sebagai institusi yang ikut bertanggung jawab
menjaga moral dan akhlak masyarakat.
Keempat, berkaitan dengan lingkungan kerja dan budaya perusahaan perbankan
(Corporate culture). Dalam hal etika, sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah
(cerdas, professional) dan tabligh (komunikatif, ramah, keterbukaan) harus melandasi setiap
tindakan para pelaku perbankan syariah. Dalam hal reward and punishment yang berlaku dalam
perbankan syariah dipraktikkan dengan prinsip berkeadilan dan sesuai dengan syari’ah.
Dengan demikian, perbankan syariah adalah perbankan yang beroperasi atas dasar
prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah merupakan aturan dasar atau pokok yang berdasarkan
hukum Islam. Prinsip ini menjadi landasan dan acuan dalam mengatur hubungan antara
perbankan dan pihak-pihak lain serta di dalam usaha menghimpun dan menyalurkan dana
dan aktivitas perbankan syariah lainnya. Selain itu, dalam operasional perbankan syariah pada
prinsipnya dapat melakukan kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan petunjuk
dan ketentuan syari’ah, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta persetujuan Bank
Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
2.2.5. Perbedaan antara Bank Syariah dan bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memeliki persamaan,
terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang
digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP,
proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Di samping itu, antara bank syariah dan bank
konvensional memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, yakni menyangkut akad-akad yang
ditetapkan, aspek legalitas, struktur organisasi, bidang usaha yang dibiayai dan lingkungan
kerja.
(1). Akad dan aspek legalitas.
Di dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukrawi,
karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Di dalam perbankan
syariah, apabila pihak-pihak yang melakukan akad atau trasaksi melanggar kesepakatan /
perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani, maka konsekwensi hukum yang akan
diterima tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan
pihak-pihak, baik barang, jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad
transaksi perbankan syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah sebagai berikut:
a. Rukun: penjual, pembeli, barang, harga dan akad (ijab-qabul / transaksi)
b.Syarat-syarat, yaitu:
a) Barang dan jasa harus halal. Karena itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan
jasa yang haram menjadi batal / haram demi syari’ah.
b) Harga barang dan jasa harus jelas.
c) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya
transportasi.
d) Barang yang menjadi obyek transaksi harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah.
Tidak diperbolehkan oleh syari’ah melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau
sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di
pasar modal.
(2) Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi
perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di
Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI). Lembaga inilah
yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabahnya.
Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis
Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, BAMUI dalam menyelesaikan sengketa yang
menyangkut perbankan syariah mengacu kepada hukum materi syari’ah.
(3). Struktur Organisasi
Bank syariah diperkenankan untuk memeliki struktur organisasi yang sama dengan
bank konvensional, misalnya adanya dewan komesaris dan direksi. Namun, di sisi lain
terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara struktur organisasi yang dimiliki bank
syariah dan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar itu adalah bahwa di dalam struktur
organisasi perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah
biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk
menjamin efektifitas pendapat atau opini yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat
Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Struktur organisasi tersebut terbagi atas:
a. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Fungsi utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah
mengawasi jalannya operasional bank syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan
petunjuk dan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini, karena akad / transaksi yang
berlaku di dalam sistem perbankan syariah sangat berbeda dengan akad / transaksi
yang berlaku di dalam perbankan konvensional. Dalam kaitan ini, dalam sistem
perbankan syariah diperlukan garis-garis panduan (guidelines) yang berbeda pula
dengan sistem perbankan konvensional. Garis panduan ini disusun dan ditetapkan
oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam pada itu, Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus
membuat pernyataan secara berkala (biasanya setiap tahun) bahwa bank syariah yang
diawasi telah berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pernyataan DPS
ini disampaikan dalam buku laporan tahunan (annual raport) bank yang bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah meneliti dan membuat
rekomendasi atas produk baru bank syariah yang diawasinya. Dengan demikian, DPS
bertindak sebagai penyaring petama atas produk yang telah diteliti dan difatwakan
oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah
air, berkembang pulalah jumlah DPS. Hal ini patut disyukuri, tetapi juga harus
disikapi dan diwaspadai secara hati-hati. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya
kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS atas produk
yang sama dalam beberapa perbankan syariah yang berbeda. Hal ini tidak mustahil
akan menimbulkan kebingungan dan keresahan umat Islam dan nasabah. Oleh karena
itu, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi keislaman di
Tanah Air, menganggap perlu dan penting dibentuknya satu dewan syariah bersekala
nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan syariah, termasuk di dalamnya
Dewan Pengawas Syariahnya. Lembaga ini kemudian dikenal dengan nama Dewan
Syariah Nasional atau DSN.
Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil
rekomendasi dari Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama.
Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan seorang sekertaris (ex-officio). Kegiatan
sehari-hari Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dijalankan oleh Badan Pelaksana
Harian dengan seorang ketua dan sekertaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga
keuangan syariah agar sesuai dengan syari’at Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi
perbankan syariah, tetapi juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan syariah lain,
seperti asuransi, reksadana, modal ventura dan sebagainya. Untuk keperluan
pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk
syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi
dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap lembagalembaga
keuangan syariah dan menjadi dasar acuan dalam pengembangan produkproduknya.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para
ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah tertentu. Dewan Syariah Nasional dapat memberikan teguran
kepada lembaga keuangan syariah yang dipandang telah menyimpang dari garis
panduan perbankan syariah dan petunjuk syari’at Islam. Hal ini dilakukan setelah
menerima dan mendapat laporan dari Dewan Pengawas Syariah lembaga keuangan
atau perbankan syariah yang bersangkutan.
Jika lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran
yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang
berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan
saksi hukum yang berlaku agar lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut
tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh dari ketentuan dan petunjuk
syari’ah
.
(4). Bisnis dan Usaha yang Dibiyai Perbankan Syariah.
Di dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
ketentuan dan petunjuk syari’ah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan membiyai
bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syari’ah. Lembaga keuangan syariah dan perbankan
syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiyaan dari suatu usaha atau bisnis
ebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan beberapa hal pokok sebagai berikut:
a. Apakah obyek pembiayaan itu halah atau haram?
b.Apakah proyek yang akan dibiyai itu menimbulkan madharat atau tidak?
c.Apakah proyek yang akan didanai berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya?
d.Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?
e.Apakah proyek yang akan dibiyai itu berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal?
f. Apakah proyek itu dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak
langsung?
(5). Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah sudah semestinya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan
ketentuan dan petunjuk syari’ah. Dalam hal etika, misalnya sifat shiddiiq (kejujuran), amanah
(dapat dipercaya), fathanah (cerdas, professional) dan tabligh (komunikatif/mampu melakukan
kerja secara teamwork, keterbukaan) dan sebagainya adalah menjadi budaya kerja yang
ditunjukkan oleh setiap pelaku di seluruh tingkat struktur organisasi perbankan syariah.
Termasuk di dalam kaitan ini adalah cara berpakaian, pergaulan dan tingkah laku dari para
karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang
membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku atau
pergaulan yang tidak terpuji. Demikian juga dalam mengahdapi nasabah, akhlak terpuji harus
selalu dikedepankan.
Secara lebih rinci, dalam tabel berikut dapat disajikan perbandingan antara bank syariah dan
bank konvensional.
BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL
1. Berinvestasi pada jenis bisnis dan usaha
yang halal saja
2. Keuntungan berdasarkan prinsip bagi
hasil, jual beli dan sewa
3. Mengharamkan bunga
4. Profit dan falah (keberuntungan di dunia
dan akhirat) oriented
5. Hubungan dengan nasabah adalah
kemitraan
6. kegiatan operasionalnya harus
mendapat rekomendasi dari Dewan
1. Investasi pada jenis usaha halal dan
haram adalah sama saja.
2. Keuntungan berdasarkan sistem bunga
3. Menghalalkan bunga
4. Profit oriented
5. Hubungan dengan nasabah adalah
debitor-debitor
6. Tidak ada Dewan Pengawas Syariah
Pengawas Syariah (DPS)
2.2.5. Perbedaan antara Konsep Bunga dan Riba
Volker Ninhaus, seorang pakar ekonomi Bochum, Jerman, menyebut ada empat
pendekatan yang digunakan pakar Muslim tentang ekonomi Islam, yaitu (1) pendekatan
pragmatis dengan melakukan berbagai kegiatan konkrit dan langsung untuk menumbuhkan
perekonomian Muslim di seluruh dunia, (2) pendekatan resitatif dengan merumuskan berbagai
kode etik ekonomi yang dapat ditarik dari Al-Qur’an dan Hadis, (3) pendekatan utopia yang
menghasilkan rumusan-rumusan tentang rasionalitas ekonomi menurut ajaran Islam, dan (4)
pendekatan adaptatif yang mencoba mencari kaitan antara ajaran-ajaran Islam di bidang etika
ekonomi dan doktrin-doktrin ekonomi dari ideologi Barat yang sudah dikenal. Pendekatanpendekatan
ini merupakan jembatan antara sistem ekonomi pada tataran normatif dan
praktis dalam perspektif Islam.
Di atas kode etik inilah dibangun suatu sistem perekonomian yang adaptif terhadap
lingkungan. Dalam tataran aplikasi, sistem yang dibangun ini biasanya mengalami perbedaan
antara satu tempat dengan tempat sistem itu dijalankan. Dalam ajaran Islam terdapat
petunjuk-petunjuk yang sifatnya langsung. Sungguhpun demikian tidak bisa diabaikan
kemungkinan pengaruh tidak langsung dari ajaran-ajaran Islam yang sifatnya umum terhadap
kegiatan ekonomi. Petunjuk-petunjuk yang sifatnya langsung ini telah menimbulkan
perumusan-perumusan hukum atau syariah yang dijadikan referensi bagi sistem ekonomi.
Dengan kerangka semacam ini, sistem ekonomi Islam dipandang sebagai pelaksanaan
syariah Islam dalam bidang ekonomi. Jadi, apa yang disebut sebagai ekonomi Islam lebih
pada persoalan yang bersifat “mengatur” prilaku ekonomi secara konkrit.
Sejauh ini belum ada kesatuan sikap dan pandangan kaum Muslimin terhadap dunia
perbankan konvensional yang menyangkut bunga bank. Satu pihak menginterpretasikan
bunga bank sebagai riba tanpa memandang apakah itu pinjaman konsumtif atau produktif.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa bunga bank bukan riba karena adanya unsur-unsur
produktif yang menyertainya. Bunga bank termasuk riba, jika digunakan untuk hal-hal yang
bersifat konsumtif. Atau seperti pandangan Syarifuddin Prawiranegara, Gubernur pertama,
bahwa bunga bank termasuk riba jika proses transaksi bersifat memeras.
Kredit konon berasal dari kata qardh, yang berarti meminjamkan uang atau barang
atas dasar kepercayaan. Dalam Fikih, orang yang meminjamkan uang tidak boleh meminta
manfaat apa pun dari yang dipinjaminya, ternasuk janji si peminjam untuk membayar lebih
dari yang dipinjamnya. Bahkan, sebuah Hadis menyebutkan, “Dan bila orang yang berutang
memberimu hadiah atau menawarimu untuk menaiki kendaraannya, maka jangan pernah engkau naiki
kendaraannya, kecuali hal itu memang biasa dilakukan sebelum pinjam-meminjam.”
Jelasnya, dalam skim/qardh, baik peminjam maupun yang meminjamkan tidak boleh
mensyaratkan atau menjanjikan manfaat apa pun. Sebab, jika syarat atau janji bisa diberikan
oleh yang meminjam, sangat besar kemungkinannya bagi yang memberi pinjaman itu akan
memeras si peminjam dalam berbagai bentuknya. Namun demikian, praktik perbankan
konvensional tetap menjadi persoalan kontroversial di kalangan umat Islam. Batas-batas
pemerasan dalam praktik konvensional, jika memang ada, bagaimana pun merupakan sesuatu
yang kompleks. Belum adanya kesatuan pandangan dari umat Islam tentang praktik
perbankan konvensional dengan sistem pembungaanya ini mendorong terciptanya sistem
perbankan alternatif, yaitu sistem non-bunga dan dengan prinsip bagi keuntungan dan
kerugian.
Di bawah ini ditampilkan ringkasan pandangan para ulama yang menegaskan belum
bersatunya pendapat mereka tentang bunga bank9..
LEMBAGA FATWA HASIL
Masjid Al-
Azhar, Kairo,
Mesir
Majma’ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Fatwa
Tertinggi Al-Azhar yang dipimpin Syeikh
Al-Azhar) Tahun 1965
Bunga Bank adalah riba yang
diharamkan syariat Islam
Majma’ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Fatwa
Tertinggi Al-Azhar yang dipimpin Syeikh
Al-Azhar) Tahun 2002
1. merevisi fatwa tahun 1965
2. 9 dari 14 ulama yang hadir
menyatakan bahwa bunga
bank tidak sama dengan
riba, maka hukumnya halal
3. 4 dari 14 ulama
menyatakan bunga bank
haram. 1 oarang di antara
para ulama itu tidak
bersikap
Muhammadiya
h
Sidang Majlis Trjih Muhammadiyah tahun
1972, 1976, 1986 dan 1989
Hukum bunga bank masih
mauquf (tidak bersikap)
NU Bahtsul Masail NU tahun1982 sampai
dengan sekarang
Memberikan tiga alternatif
hukum, yaitu: halal, haram dan
syubhat.
MUI Ijtima’ (Pertemuan) ulama Komisi Fatwa se-
Indonesia dan rapat kerja MUI, Desember
2003
Bunga bank Haram dan umat
Islam harus menjahuinya.
Secara rasional, adakah madharat sistem bunga ini lebih besar dibandingkan dengan
manfaat yang diraih? Menurut M. Umer Chapra (1999), alasan di balik pelarangan bunga
mungkit sulit untuk dipahami, kecuali bila dalam memahaminya itu selalu
mempertimbangkan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan substantif penerapan syari’at Islam) itu
sendiri. Konsekwensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa strategi yang akan
dijalankan dalam perbankan haruslah sesuai dengan tujuan syari’ah, karena bila tidak, maka
tujuan tersebut tidak akan dapat diwujudkan. Adapun tujuan syari’at Islam dimaksud adalah
keadilan.
Perbedaan konseptual antara dua hal yaitu riba dan bunga seringkali kurang jelas.
Riba secara literal berarti semakna dengan kata ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain
secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara tidak sah (bathil). Terdapat
beberapa pendapat dalam menjelaskan hakekat riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam traksaksi jual
beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah
dalam Islam10. Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil … (Q.S. An-Nisa’ (4):29).
9 Sumber: Riset Redaksi Peduli Ummat dari berbagai sumber dan wawancara (2003)
10 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 37
Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, pengertian al-bathil
dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: “riba secara bahasa berarti tambahan. Namun yang
dimaksud riba dalam Al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syari’ah”11.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan sersebut secara adil, seperti transaksi
jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil dan kerugian dari sebuah usaha bisnis atau proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa kaena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatau barang karena digunakan oleh
penyewa. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang
diterimanya. Demikian pula dalam transaksi bagi hasil dalam sebuah usaha, semua pihak yang
terlibat dalam usaha tersebut berhak mendapatkan kaeuntungan karena di samping
menyertakan modal juga ikut serta menanggung resiko kerugian yang dapat terjadi setiap
saat. Demikian itu didasarkan pada kenyataan yang rasional bahwa modal/uang tidak
mungkin dapat berkembang dengan sendirinya karena faktor waktu semata tanpa dibarengi
kerja dan usaha untuk mengembangkan modal tersebut12. Hanya saja, memastikan seberapa
besar perkembangan modal usaha (keuntungan) tersebut dan atau resiko kerugiannya adalah
bertentangan dengan ‘aqidah tauhid, karena menyangkut masa depan yang bisa memastikan
nasib baik buruk hanya Allah saja.
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”13. Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku
petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.(Q.S. al-Kahfi (18):23)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok14. Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Luqman (31):34)
Pengertian yang sama menyangkut makna riba juga telah disampaikan oleh berbagai
ulama dari berbagai madzhab fiqih Islam. Badr al-Diin al-Ayni, pengarang kitab ‘Umdat al-
Qaari Syrh al-Shahiih al-Bukhaariy, menyatakan: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil”. Al-
Imam Sarakhasi dari madzhab hanafiah berpendapat: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibebankan syari’ah atas penambahan
tersebut”15.
11 Sebagaimana yang dikutip oleh Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 38
12 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 38
13 Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang roh, kisah ashhaabul Kahfi
(penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi besok kepadaku agar aku ceritakan. Dan
beliau tidak mengucapkan “Insya Allah” (artinya jika Allah menghendaki). Tapi kiranya sampai esok harinya wahyu terlambat
datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran
kepada Nabi; Allah mengingatkanpula bilamana Nabi lupa menyebut “Insya Allah” haruslah segera menyebutkannya kemudian.
Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 447
14 Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan
diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 658
15 Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 38-39
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang (riba
duyun) dan riba jual-beli (riba buyu’). Riba utang piutang terbagi menjadi riba qaradh dan riba
jahiliyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang. Adapun riba jahiliyah yaitu utang yang dibayar lebih dari pokoknya
karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba
duyun misalnya terjadi ketika kreditur setuju untuk memberikan kelonggaran debitur
menunda pembayaran dari hutang sebelumnya dan sebagai gantinya adalah penambahan
sejumlah nilai saat debitur mengembalikan hutangnya.
Riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak
memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitsnya (sawa-an bi sawa-in)
dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung unsur
gharar, yaitu ketidak jelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan seperti ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah
satu pihak, kedua pihak atau berbagai pihak yang lain. Untuk memperjelas riba fadhl ini dapat
dikemukakan contoh sebagai berikut:
Riba nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi
kriteria. Untung muncul bersama resiko kerugian (al-ghunmu bi al-ghunmi) dan hasil usaha
muncul bersama biaya (al-kharaj bi al-dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran
kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasi’ah berarti penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan
antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi, alghunmu
(untung) muncul tanpa adanya al-ghurmi (resiko), hasil usaha (al-kharaj) timbul tanpa
adanya biaya (al-dhaman). Jadi, al-ghunmu dan al-kharaj diperoleh karena hanya berjalannya
waktu.
Di dalam Hadis dikemukakan riba yang dipratikkan dalam berbagai transaksi
penjualan, baik dalam bentuk pertukaran, maupun kredit (pembiayaan berangsur). Untuk riba
yang terjadi di dalam pertukaran antara dua komiditi yang berbeda dengan tingkat kualitas
yang jauh berbeda disebit riba fadhl. Jika pertukaran tersebut terjadi dengan kualitas yang
sama, maka bukan riba fadhl dan itu dibenarkan. Contih riba fadhl adalah 1 Kg komoditi
kurma berkualitas tinggi ditukarkan dengan 2 Kg gandum berkualitas yang berbeda; lebih
tinggi atau lebih rendah dari kualitas 1 Kg kurma tersebut.
Dalam kaitan ini umumnya pihak bank konvensional mengklaim bunga sebagai
pengganti dari biaya enam komponen yang ditimbulkan akibat dari transaksi peminjaman,
yaitu: bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana (dalam hal ini pihak ketiga yang
memberikan dana investasi kepada bank), biaya jasa, biaya penyusutan, premi resiko,
konpensasi dari inflasi, renumerasi terhadap bank dalam penyediaan jasa. Dari pengertian
tersebut pihak bank hanya sebagai perantara antara si peminjam dan pemilik dana.
Menurut Abu Ahmad Akif, riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
secara literal berarti peningkatan, baik positif maupun negatif. Di dalam Al-Qur’an istilah ini
digunakan juga dalam arti peningkatan yang positif (yurbi al-shadaqat; dalam Q.S.Al-Baqarah
(2):276)16. Pernyataannya yang lebih tegas adalah:
1. Bunga adalah riba yang jelas dilarang oleh agama Islam, tidak peduli dalam bentuk nama
apapun atau pendiskripsian apapun.
16 “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa”.
2. Keuntungan dari pinjaman apapun adalah haram, meskipun pinjaman itu digunakan
untuk konsumsi ataupun produksi.
3. Riba adalah dilarang tanpa melihat kualifikasi atau tingkatannya, dan semua tingkatan riba
termasuk dalam segala jenis bunga.
4. Bunga dalam tingkatan apapun yang melampaui 0% adalah riba dan itu dilarang oleh
syari’at Islam.
Pelarangan riba yang muncul di dalam hukum Islam klasik, bukanlah semata-mata
sebagai upaya untuk mencegah kaum kaya mengeksploitasi kaum miskin (Muhammad al-
Gamal, 1998). Berkaitan dengan hal tersebut, isu mengenai riba ini menjadi kontroversial.
Ada yang berpendapat bahwa perbankan konvensional yang mengembangkan bunga sebagai
bagian keuntungan dari pertumbuhan investasi bukanlah merupakan riba yang dilarang.
Argumen ini tidak hanya berkembang dari minimnya pemahaman mengenai riba yang
dilarang berdasrkan alasan eksploitasi, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa banyak praktik
riba terjadi di negara-negara Islam di jazirah Arab yang terjadi dalam perdagangan komersial
maupun pembiayaan.
Namun demikian masih banyak perbedaan pendapat mengenai bunga dan riba. Tidak
dapat disangkal lagi bahwa bunga atas pinjaman adalah riba al-nasi’ah yang dilarang. Istilah
bunga bagaimanapun telah digunakan dalam istilah ekonomi dan dipraktikkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Para ekonom muslim mengakui bahwa istilah bunga adalah istilah
yang telah dikenal secara umum, sehingga mendorong mereka untuk mengklaim bahwa
Islam tidak menerima nilai waktu dari uang (time value of money). Banyak sumber tulisan dari
ekonom muslim yang menggarisbawahi pertanyaan apakah Islam mengakui atau tidak
mengenai nilai waktu uang tersebut, dan banyak yang mengkategorikannya tidak menerima.
Pernyataan kontroversial tersebut oleh beberapa ilmuan muslim kemudian dijawab
bahwa Islam tidak mengakui nilai waktu uang tetapi Islam mengakui bahwa waktu memiliki
kontribusi pada nilai harga” (li al-zaman hadldlun fi al-tsaman). Sesungguhnya para ahli hukum
Islam telah berupaya meletakkan basis kelembagaan keuangan Islam yang telah beroperasi
dalam tahun-tahun terakhir yang didasarkan pada prinsip mudharabah dan ijarah.
Penambahan nilai yang diperoleh dari sitem bunga dalam bank konvensional
ditetapkan sebagai nilai konpensasi kepada jasa terhadap pedagang, atau jasa perantara
keuangan. Meskipun pada kenyataannya perusahaan keuangan yang sama mungkin menjual
item barang untuk satu harga tertentu bagi pembayaran kontan dan harga yang lebih tinggi
bagi pembayaran cicilan. Hal ini tidak Islami, namun praktik keuangan seperti tetap
dipraktikkan sampai saat ini. Di samping itu, harus diakui bahwa persoalan pertambahan nilai
tersebut dapat dikatakan bunga atau bukan, masih bias (syubhat), baik dari sisi kajian akademis
maupun sosiokultural yang sampai saat ini belum sepenuhnya kondusif terhadap
kelembagaan keuangan Islam.
Dalam upaya menegakkan iklim yang kondusif, maka gerakan pendidikan dan
penyadaran tentang bunga adalah riba yang dilarang syari’ah merupakan keniscayaan. Hal ini
merujuk kepada referensi Islam yang ditunjukkan oleh salah satu Hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Sa’id al-Khudriy tentang larangan riba fadhl. Bunga didefinisikan sebagai pertukaran
terhadap dua komoditi dalam jumlah maupun kualitas yang setara. Dalam hal ini maka
larangan terhadap riba bukan hanya berkaitan dengan hutang, penundaan pembayaran atau
yang berkaitan dengan nilai waktu lainnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa masalah keadilan berada di belakang mengapa riba
dilarang oleh Islam. Keadilan tersebut dapat dicapai dengan mengkonpensasikan bagian yang
sama dan setara dari nilai barang yang dapat diperkirakan nilai pasarannya pada saat
itu.konpensasi yang setara ini ekwivalen paradeks effisiensi pareto dari sisi ekonomi. Selanjutnya
adalah perlu adanya mekanisme kesepakatan awal (pre-commitment) di mana aturan yang telah
disepakati adalah item yang sama untuk dipertukarkan dan harus setara dalam hal jumlah dan
kualitas. Jika hal ini tidak dilakukan maka larangan terhadap riba fadhl akan memaksa
pedagang untuk membuat mark up pasar terhadap rasio barang yang mereka perdagangkan.
Kebutuhan untuk mekanisme kesepakatan awal ini adalah untuk menghindari terjadinya ineffisiensi
perdagangan karena kurangnya informasi mengenai nilai harga yang adil dalam
pertukaran antara dua komoditi.
Disebabkan minimnya teori yang memuaskan tentang bunga dalam ilmu ekonomi
modern, maka perkembangan hukum Islam yang melarang riba pada awalnya tidaklah
berlandaskan pada teori ekonomi, namun berdasarkan pada norma atau syari’at agama, yang
memandang penerapan sistem bunga merupakan representasi dari ketidak-adilan (Abbas
Mirakhor,1995). Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga merupakan imbalan dari
sejumlah simpanan atau uang yang ditabung, para pakar muslim memberikan respon bahwa
pembayaran bunga seperti itu hanya bisa dirasionalisasi dari sisi kepentingan ekonomi. Jika
simpanan atau tabungan itu digunakan untuk investasi yang meningkatkan tambahan modal
atau kekayaan, maka ketika seseorang menabung, tabungannya tersebut akan memberikan
kontribusi terhadap asetnya. Tetapi di dalam aturannya , si penabung tidak memeliki
wewenang untuk mengatur tabungannya akan berputar seperti apa dan seberapa besar
tambahan aset/tabungannya.
Berdasarkan pendapat terserbut di atas, maka tiadanya pertambahan yang simultan
dari investasi baru, baik yang berupa aset maupun hutang menyebabkan simpanan tersebut
sebenarnya secara tidak langsung akan beralih kepemilikan tapi tidak akan ada pertambahan
kekayaan. Dengan demikian perilaku seperti ini tidak membenarkan hak atas seseorang
terhadap bunga.
Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga sebagai produktivitas atas modal,
pakar muslim meresponnya dengan menyatakan bahwa meskipun produktivitas marjinal dan
modal dapat berfungsi sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan suku bunga, namun
presentasi dari suku bunga tersebut tidak memeliki hubungan atau korelasi yang erat dengan
produktivitas dari modal. Sedangkan argumen terhadap pandangan bahwa bunga adalah
imbalan uang yang ditabung, pihak yang setuju terhadap bunga merespon bahwa suku bunga
tersebut dibayarkan sebagai imbalan atas jasa uang yang dipinjamkan atau disimpan, bukan
dalam penyertaan modal. Para pakar muslim berargumentasi bahwa hal ini adalah kesalahan
dari teori ekonomi modern yang memberlakukan bunga sebagai pengembalian untuk modal
dan juga imbalan jasa untuk pengusaha atau pihak yang mentransformasi simpanan yang
potensial menjadi penambahan aset yang aktual, meskipun sebenarnya pihak yang
meminjamkan tidak melakukan apapun untuk mengkonversi uang menjadi modal dan
menggunakannya menjadi produktif.
Argumen yang menyatakan bahwa bunga muncul sebagai konsekwensi yang tidak
ter-elakkan dari selisih antara nilai barang kapital saat ini dengan nilainya di tahun yang akan
datang, para pakar muslim merespon bahwa hal ini hanya menjelaskan hal-hal yang tidak
terelakkan saja dan bukan pada tingkat keakuratan/kebenaran. Hal ini hanya menjelaskan
mengapa peminjam berkewajiban untuk membayar bunga dan mengapa pihak yang
meminjamkan menuntut pembayaran bunga ini, sementara sebenarnya mereka tidak
menghiraukan dan tidak dapat memperkirakan dengan pasti perbedaan nilai barang antara
saat sekarang dan masa yang akan datang, maka teori tentang bunga menjadi bersifat abstrak
dan tidak realistis. Berdasarkan respon dan argumentasi di atas, para pakar muslim tetap
mempertahankan pendapat bahwa ketika seseorang meminjamkan uang, walaupun dana
tersebut digunakan untuk menghasilkan aset ataupun hutang melalui investasi dari uang
tersebut, namun tetap tidak ada alasan yang bisa dibenarkan bahwa orang yang
meminjamkan tersebut berhak menerima sesuatu imbalan dari pengembalian uangnya.
2.2.6 Keadilan sebagai Inti dari Tujuan Syariat Islam
Al-Qur’an dan Hadis menempatkan keadilan sebagai tujuan utama dalam syari’at
Islam. Menurut Al-Qur’an, Q.S. al-Hadid (57):2517, menciptakan keadilan merupakan tujuan
utama mengapa Allah SWT. mengirimkan rasul-rasul-Nya ke muka bumi. Al-Qur’an juga
menempatkan keadilan sama dengan taqwa kepada Allah SWT (Q.S.(5):8)18. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya posisi keadilan di dalam syari’at Islam. Para ahli hukum di
dalam sejarah Islam telah sepakat bahwa keadilan maerupakan tujuan yang terpenting dari
maqashid al-syari’ah.
Menegakkan keadilan memiliki dimensi yang luas di dalam Islam. Keadilan harus
diwujudkan di seluruh aspek kehidupan manusia, baik di dalam berkeluarga,
bermasyarakat/sosial, kegiatan ekonomi dan politik, maupun di dalam berinteraksi dengan
hewan dan alam lingkungan hidupnya sekalipun.
Dalam pandangan ahli ekonomi, prinsip keadilan menuntut penggunaan sumberdaya
dengan cara yang baik dan bertujuan kepada perwujudan kebaikan dan kemuliaan seluruh
umat manusia. Dengan menerapkan prinsip keadilan diharapkan tercapai tingkat
pertumbuhan yang maksimal, meratanya distribusi pendapatan dan kesejateraan, serta
terwujudnya stabilitas ekonomi. Tujuan ekonomi yang demikian disebut juga dengan tujuan
yang bersifat kemanusiaan yang telah diakui oleh semua kelompok masyarakat dan
merupakan hasil dari nilai-nilai moral yang dimiliki oleh semua agama.
Pelarangan terhadap bunga bank merupakan salah satu strategi ekonomi Islam yang
dibingkai dengan etika, moral dan akhlak yang terpuji dimaksud. Tampaknya hal inilah yang
menjadi salah satu alasan mengapa bukan hanya agama Islam yang menolak dan melarang
pemberlakuan sistem bunga. Semua agama, seperti Yahudi, Kristen dan Hindu juga menolak
kehadiran sistem bunga di dalam perekonomian umat manusia. Injil sebagai kitab suci agama
Kristen menyatakan bahwa antara riba dan bunga tidak ada perbedaannya, sama-sama haram,
dan orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi dengan sistem bunga termasuk ke dalam
golongan orang-orang jahat19.
Dalam kaitannya dengan konsep keadilan dalam Islam, meskipun pemberian bantuan
dan peningkatan kualitas sosial ekonomi kaum miskin tergambar dalam maqaashid al-syari’ah,
namun pembatasan terhadap pelarangan bunga untuk tujuan tertentu didak saja salah, tetapi
juga tidak berada pada tempatnya. Islam melarang sistem bunga pada sistem keuangan dan
perdagangan/usaha, dan berusaha lagi untuk mengorganisasi kembali sistem permodalan dan
17 Firman Allah tersebut mempunyai arti: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah Mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal
Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
18 “Hai orng-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.
19 Sebagimana yang dikutip oleh Muhammad Syaffi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori kePraktik, Jakarta: Gema Insani , 2001,
h. 42-48
keuangan dalam bentuk bagi hasil (profit-loss-sharing). Sistem ini memungkinkan investor
mendapatkan bagian dari hasil usahanya dan pengusaha/peminjam modal tidak
maenanggung sendiri kerugian usaha dari faktor-faktor yang tidak mungkin dapat dihindari.
Jika keinginan untuk mewujudkan penggunaan sumberdaya dengan cara yang sesuai dengan
tujuan kemanusiaan yang universal, maka menjadi penting untuk mereorganisasikan kembali
sistem perekonomian yang telah ada. Pengelolaan keuangan berdasarkan keadilan dan bagi
hasil (profit-loss sharing) merupakan bagian yang esensial dari upaya mere-organisasi tersebut.
2.2.7. Prinsip dan Produk Bank Syariah
Secara umum terdapat dua bentuk kegiatan utama dalam operasional perbankan
syariah, yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana. Tiap bentuk tersebut dapat
diuraikan lagi berdasarkan prinsip-prinsip yang mendasarinya.
(1) Penghimpunan Dana
Sebagaimana pada bank konvensional, penghimpunan dana di bank umum syariah
dapat berbentuk giro, tabungan dan diposito, sedangkan BPRS hanya dapat melayani
tabungan dan deposito. Namun demikian, mekanisme operasional penghimpunan dana ini
harus disesuaikan dengan prinsip syari’ah. Prinsip operasional bank syariah yang telah
diterapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat selama ini adalah prinsip
wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah
Wadi’ah adalah usaha untuk memobilisasi dana dengan menggunkan prinsip titipan.
Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah amanah dan wadi’ah dhamanah. Wadi’ah
amanah adalah harta atau barang titipan yang tidak boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh
penerima titipan (safe deposit box), sedangkan wadi’ah dhamanah adalah harta atau barang titipan
yang boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Dedengan demikian terdapat
dua jenis cara penghimpunan dana berdasarkan prinsip wadi’ah bi yad al-dhamanah, yaitu giro
wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Pada penerapan prinsip wadi’ah bi yad aldhamanah, bank dapat
memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa dana tersebut
dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana. Namun demikian rekening ini tidak boleh
mengalami saldo negatif (overdraft). Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana akan
menjadi hak milik atau ditanggung oleh bank, sedangkan pemilik dana tidak memperoleh
imbalan atau menanggung kerugian.
Manfaat yang diperoleh pemilik dana adalah jaminan kaeamanan terhadap
simpanannya serta fasilitas-fasilitas giro dan tabungan lainnya. Bank dapat memberikan
bonus kepada pemilik dana damun tidak boleh menjanjikannya di muka, yaitu ketika akad.
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip
syari’ah.
b. Prinsip Mudharabah
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana, prinsip mudharabah
dibedakan menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam
kegiatan penghimpunan dana, prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam
pembukaan rekening tabungan dan deposito, sehingga tedapat dua jenis dalam
penghimpunan dana berdasarkan prinsip ini, yaitu tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah.
Ada empat ketentuan yang harus dipatuhi dalam menerapkan prinsip mudharabah,
baik yang berlaku untuk tabungan maupun deposito, yatu:
(1). Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberian keuntungan dan atau perhitungan pembagian keuntungan serta resiko yang
dapat timbul dari penyimpanan dana.
(2). Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti
penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk
deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet)
deposito kepada deposan.
(3). Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati, namun tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Deposito
yang diperpanjang setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru,
tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis, maka tidak perlu dibuat
akad baru.
(4). Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan dn deposito tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Mudharabah muqayyadah merupakan jenis simpanan khusus (restricted investment) di
mana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
(1). Pemilik dana menetapkan syarat penyaluran dana. Untuk itu bank wajib membuat
akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus ini.
(2). Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan buku simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening simpanan khusus supaya tidak bercampur dengan dana
dari rekening lainnya. Dana khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang
diamanatkan oleh pemilik dana.
(2). Penyaluran Dana
Dalam penyaluran dana, bank syariah harus berpedoman kepada prinsip kehatihatian.
Sehubungan dengan ini, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon
nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain
yang berkaitan dengan penyaluaran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah. Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis
besar terdapat empat kelompok prinsip operasional syari’ah, yaitu prinsip jual beli (bai’), sewa
beli (ijarah), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan lainnya.
a. Prinsip Jual Beli (Bai’)
Prinsip jual beli meliputi murabahah, salam dan istishna’. Prinsip murabahah umumnya
diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang investasi. Skim murabahah sangat berguna
bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia
kemudian meminta kepada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia
menebusnya pada saat barang diterima.
Salam adalah pembelian barang untuk pengantaran (delivery) yang ditangguhkan
dengan pembayaran di muka. Salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada
pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya. Apabila
hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka produsen harus
bertanggungjawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau
mengganti dengan barang yang sesuai pesanan. Mengingat bank tidak menjadikan barang
yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory).
Istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya dapat di muka, dicicil atau
di belakang/kemudian. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiyaan manufactur, industri kecil dan konstruksi.
b. Prinsip Sewa Beli (Ijarah Wa Iqtina’ atau Ijarah muntahiyyah Bittamlik)
Ijarah wa iqtina’ atau ijarah muntahiyyah bittamlik adalah akad sewa menyewa suatu
barang antara bank dan nasabah di mana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek
sewa pada akhir akad. Dalam dunia usaha pola perjanjian ini dikenal dengan financial lease.
Harga dan sewa beli ditetapkan bersama pada awal perjanjian.
c. Prinsip Bagi Hasil (syirkah)
Beberapa bentuk produk yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah musyarakah,
mudharabah mutlaqah, dan mudharabah muqayyadah. Pengaplikasian musyarakah dalam
perbankan, umumnya untuk pembiayaan usaha di mana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Semua modal dicampur untuk
dijadikan modal usaha, dan manajemennya pun dikelola bersama-sama.
Dalam pengimplementasian produk mudharabah muthlaqah, jumlah modal yang
diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang tunai dan apabila
modal diserahkan secara bertahap diperhitungkan dengan cara perhitungan dari pendapatan
proyek (revennue sharing) dan dari perhitungan keuntungan proyek (profit sharing)
Karakteristik mudharabah muqayyadah pada dasarnya sama dengan persyaratan
mudharabah mutlaqah, perbedaannya adalah pada penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan
tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank.
Secara ringkas di sini dapat dikemukakan produk-produk bank yang ditawarkan bank
syariah sebagai berikut20:
NO PRODUK / JASA PRINSIP SYARIAH
1 Giro
III. Wadi’ah Dhamanah
2 Tabungan Wadi’ah Dhamanah dan Mudharabah
3 Deposito Mudharabah
4 Simpanan Khusus Mudharabah Muqayyadah
5 Dana Talangan Qardh
6 Penyertaan Musyarakah
7 Sewa Beli Ijarah Muntahiyyah bittamlik (Ijarah wa Iqtina’)
8 Pembiayaan Modal Kerja Mudharabah atau Murabahah
9 Pembiayaan Proyek Mudharabah atau Musyarakah
10 Pembiayaan Sektor Pertanian Bai’ al-Salam
11 Pembiayaan Untuk Akuisisi Aset Ijarah Muntahiyyah bittamlik
12 Pembiayaan Eksport Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah
13 Anjak Piutang Hiwalah
14 Letter Of Credit (L/C) Wakalah
20 Disarikan dari Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 90-116
15 Garansi Bank Kafalah
16 Inkaso Transfer Wakalah dan Hawalah
17 Pinjaman Sosial Qardh al-Hasan
18 Surat Berharga Mudharabah, Qardh, Bai’ al-Dayn
19
IV. Save Deposit Box
Wadi’ah Amanah
20 Jual Beli Valas Sharf
21 Pegadaian Rahn
(3) Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadi’ah)
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip
menghendaki. Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah)
artinya tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
selama hal ini bukan karena kalalaian penerima dalam memelihara barang titipan. Akan tetapi
dalam aktivitas perekonomian modern penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idlekan
aset tersebut tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu.
Karenanya harus memenita izin dari penitip untuk kemudian mempergunakan asetnya
dengan menjamin akan mengembalikannya secara utuh. Pihak penerima titipan dapat
membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan titipan atau simpanan
tersebut untuk tujuan: giro dan tabungan berjangka. Konsekuensi dari tangan penanggung
ini (bank), semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank,
demikian juga bank adalah penanggung seluruh kumungkinan kerugian. Sebagai imbalan
penyimpan memperoleh jaminan keamanan terhadap asetnya juga fasilitas giro lainnya. Bank
tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase
secara advance, tetapi merupakan kebijakan dari manajemen bank.
(4) Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad
utama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah
dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa
bank Islam.
Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian
pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2.3. Sikap, Perilaku, dan Preferensi Masyarakat Terhadap Perbankan Islam
Dari berbagai hasil penenelitian di berbagai belahan dunia, secara umum diperoleh
karakteristik permasalahan yang relatif sama antar negara, misalnya pengetahuan masyarakat
yang masih terbatas terhadap keberadaan bank Islam dan pemahaman yang rendah terhadap
konsep sistem ekonomi syariah. Dalam hal preferensi terhadap perbankan syariah, motivasi
keagamaan merupakan landasan utama interaksi nasabah dari golongan muslim, di atas
pertimbangan tingkat jasa yang dapat ditawarkan.
Penelitian oleh Naser dan Moutinho tahun 1997 terhadap 100 bank Islam teratas di
negara-negara Arab, menyarankan perlunya strategi pemasaran yang efektif. Agar bank-bank
Islam bisa survive, maka mereka harus menempatkan pola yang koheren untuk memperbaiki
posisinya sehingga menjadi kompetitif untuk jangka panjang. Perubahan lingkungan sosial
ekonomi dan politik menuntut bank-bank Islam untuk melakukan inovasi dan kreatifitas
dalam jasa dan produk, selain pengembangan pasar.
Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa bank Islam tidak menggunakan
keunggulan kompetitifnya dalam komunitas muslim. Karena itu, diperlukan perubahan
organisasinya untuk meningkatkan pelayanan terhadap nasabah. Mereka juga harus mampu
membuat keputusan yang strategis berkenaan dengan minimum/maksimum kapital yang
ditawarkan konsumen dan peta investasi antar wilayah dan antar sektor yang ada. Untuk
mengambil peran yang aktif di masa depan, maka isu-isu pokok yang harus diperhatikan
adalah: mampu mengukur penerimaan banknya di tengah masyarakat (brand equity), mengukur
keefektifan pemasaran yang diterapkan, proses produk baru yang lebih baik, serta
memperkirakan kepuasan konsumen.
Suatu penelitian di Jordania, yaitu di kota Irbid, Zarka dan Amman21; dengan
responden yang terdiri dari golongan kelas menengah profesional yaitu dokter, pengacara,
pengusaha, pedagang dan pemilik perusahaan. Jumlah sampel adalah 237 orang nasabah
bank konvensional dan 197 orang nasabah bank Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dalam pertimbangan motivasi pemilihan bank, motivasi religi atau agama tidak muncul
sebagai kriteria utama dalam pemilihan terhadap bank Islam. Hal ini bertentangan dengan
persepsi umum yang berlaku di sebagian besar negara Islam yang menekankan bahwa
motivasi religi merupakan faktor utama dalam pengembangan perbankan Islam. Nasabah
lebih termotivasi dengan keuntungan yang akan diperoleh jika menggunakan jasa bank. Hal
ini sebenarnya tidak bertentangan dengan doktrin hukum Islam yang menganjurkan adanya
perolehan hasil yang bersifat adil dalam suatu investasi.
Temuan penting lainnya menunjukkan bahwa pembukaan cabang-cabang baru bank
Islam tidak berperan dalam meningkatkan penggunaan bank Islam di masyarakat. Dalam
bank Islam, hubungan interpersonal dan pendekatan individu memainkan peranan penting
dalam menarik minat seseorang untuk menggunakan jasa bank tersebut. Dengan kata lain
kelompok/tokoh masyarakat (peer group) memainkan peranan penting dalam penentuan sikap
masyarakat untuk memilih penggunaan bank Islam. Pada sebagian nasabah terdapat suatu
kesadaran yang tinggi bahwa dalam sistem perbankan Islam, keuntungan dalam investasi
dilakukan dengan sistem bagi hasil (profit-loss-sharing modes) dan terdapat pula konsep distribusi
pendapatan.
21 Penelitian dilakukan oleh Cengiz Erol dan Radi el-Bdour, 1989, Yarmouk University, Irbid, Jordan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap dan perilaku
dari pengguna jasa perbankan islam, menentukan karakteristik unik pada bank islam sebagaimana yang dirasakan dan dilihat oleh nasabah bank tersebut, dan
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan jenis bank yang digunakan (bank konvensional atau bank Islam).
Hasil penelitian Naser et al. (1999) juga di Jordania, mendapatkan bahwa dari 206
responden, ditemukan beberapa kekecewaan masyarakat dengan pelayanan bank Islam.
Karena itulah, walaupun sebagian besar responden telah paham dengan berbagai produk
bank syariah seperti murabaha, mudarabah, dan musyarakah; namun mereka belum
menggunakannya.
Penelitian di Al Hajjar di Saudi Arabia tahun 1989/1990 memfokuskan kepada
persoalan pengintegrasian usaha kecil dalam proses perkembangannya. Penelitian ini
mempertanyakan apakah lembaga keuangan Islam yang menggunakan sistem bagi hasil
(profit-loss-sharing) merupakan sesuatu jalan untuk mengatasi masalah kekurangan modal pada
usaha kecil. Survey dilakukan dengan melihat perilaku usaha kecil terhadap produk
musyarakah dan mudharabah dari bank syariah. Survey dilakukan terhadap sektor industri di
Saudi Arabia, dengan 222 kuesioner (53,9 %) yang diolah dari 412 kuesioner yang disebar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan produk musyarakah,
176 (83,4%) responden dari 211 responden menolak membagi kepemilikan usahanya dengan
investor. Dari 6 sektor industri yang diteliti, 80-87,5 persen responden menolak musyarakah.
Hal ini menunjukkan hanya ada sedikit perbedaan variasi perilaku dari setiap sektor industri.
Responden yang setuju dengan musyarakah berpendapat bahwa dengan sistem tersebut,
bank syariah dapat memenuhi kebutuhan manajerial dan teknis yang dibutuhkan perusahaan
dan membantu terciptanya diversifikasi hasil produk. Mayoritas responden (89%) yang
menolak musyarakah menyatakan bahwa mereka menolak karena alasan untuk
mempertahankan kepemilikan usaha dan agar tetap dapat mewariskan usaha tersebut kepada
ahli waris mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 78 persen responden tidak bersedia untuk
menerapkan mudharabah. Mereka ketakutan investor akan mengambil alih usaha mereka,
kerjasama akan dibubarkan dan investor akan mengambil alih kepemimpinan usaha.
Terdapat pula ketakutan bahwa pihak investor akan mencampuri keputusan dalam
perusahaan seperti pembelian bahan baku, lokasi usaha, tenaga kerja dan pemasaran produk.
Studi di Oman melibatkan 52 sampel dari perusahaan kecil, baik dari sektor formal
maupun informal. Hasil penelitian di Oman menunjukkan bahwa 71 persen responden
menolak bentuk kerjasama musyarakah dalam sistem perbankan Islam. Alasan utama dari
penolakan ini adalah adanya keinginan dari perusahaan untuk memiliki sendiri usaha secara
penuh. Sekitar 29 persen perusahaan yang bersedia menjalin hubungan kerjasama
musyarakah, memahami bahwa kerjasama tersebut lebih bersifat kemitraan. Namun hanya 3
orang responden saja yang kelihatan siap untuk menjalankan sistem pembagian modal sesuai
sistem bank Islam.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 82 persen responden menolak bentuk
kerjasama mudharabah. Lebih dari 60 persen responden menyatakan bahwa penolakan
tersebut timbul dari rasa ketakutan, bahwa para investor akan menarik diri dari kesepakatan
atau kerjasama pada suatu waktu dan mendirikan perusahaan saingan. Namun demikian,
kesimpulan ini masih bersifat sementara karena sejumlah besar responden menolak untuk
menjawab pertanyaan kuisioner yang berkaitan dengan sistem keuangan Islam. Selain itu
negara Oman belum memiliki bank Islam dan dengan demikian pengalaman dan
pengetahuan mengenai instrumen sistem keuangan Islam masih sangat terbatas.
Penelitian di Bahrain oleh Metawa dan Almossawi (1998) dengan menggunakan 300
orang nasabah menemukan bahwa secara umum nasabah puas dengan pelayanan bank Islam
berkenaan dengan produk dan jasa yang diadopsinya. Dua hal utama yang menjadikriteria
pemilihan bank adalah kesetiaan (adherence) kepada prinsip-prinsip syariah Islam dan tingkat
jasa yang diperoleh (rate of return). Beberapa faktor yang utama yang signifikan adalah umur
dan pendapatan yang berkaitan dengan besarnya tabungan di bank. Lama berhubungan
dengan bank memiliki kaitan dengan pemahaman terhadap jasa-jasa dan produk yang
disediakan perbankan tersebut. Dari berbagai temuan tersebut, penulisnya menyarankan agar
bank mampu memformulasikan dan mengimplementasikan rencana pemasaran, dengan
telabih dahulu memahami sikap, perilaku, dan persepsi nasabahnya.
Penelitian lain tentang aspek finansial perumahan di Inggris (tahun 1992) menggunakan
100 orang kaum muslim sebagai responden, menunjukkan bahwa 37 persen responden
memperlihatkan kecenderungannya untuk membuka rekening di bank Islam. Sekitar 42
persen responden bersedia menutup rekening mereka di bank yang lama dan menggantinya
dengan rekening di bank Islam. Ada kecenderungan bahwa pendidikan memiliki peranan
yang cukup besar. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan, maka kesadaran dan
pengetahuan mengenai permasalahan dalam sistem keuangan Islam juga semakin baik.
Suatu survei dilakukan kepada para usahawan Arab-Amerika di Amerika Serikat dengan
276 responden, dimana 135 responden (15 %) adalah kaum muslim. Sejumlah 54 persen
responden percaya bahwa ada keinginan yang cukup di masyarakat lokal untuk mendukung
lembaga keuangan Islam. Sebesar 51 persen responden menyatakan akan mendukung
lembaga keuangan Islam dan 44 persen menyatakan tidak akan memberikan dukungannya.
Penelitian Haron et al. (1994) di Malaysia mendapatkan bahwa secara umum sikap masyarakat
terhadap perbankan Islam relatif sama. Ditemukan beberapa perbedaan yang cukup
menarik, dimana responden muslim lebih mengutamakan “pelayanan yang cepat dan
efisien” dalam memilih bank, sementara responden non muslim lebih mengutamakan
“keakraban secara personal dengan staf bank” di atas pelayanan yang diberikan dan reputasi
suatu bank.
Di Singapura, meskipun muslim dan non muslim belum sadar dengan budaya bank
Islam, namun mereka memiliki sikap yang berbeda kepada perbankan Islam. Mereka hanya
sepakat dalam satu hal, yaitu “jasa yang lebih tinggi dari tabungan mereka” (Gerrard dan
Cunningham, 1997). Dalam hal budaya bank Islam, responden non muslim memiliki
kesadaran yang rendah terhadap makna yang fundamental, dan hanya 0,6 persen yang dapat
menjelaskan makna riba, dan hanya 2 persen yang dapat menjelaskan apa makna “syariah”,
serta tidak ada yang paham tentang sistem keuangan syariah. Pada kalangan responden
muslim, 20,7 persen paham tentang riba, 31 persen paham tentang syariah. Meskipun
demikian, tidak ditemukan responden dari kalangan muslim yang dapat menjelaskan apa itu
murabahah, dan hanya satu orang responden yang bisa paham dengan baik apa itu mudaraba,
ijara, dan musyarakah.
Dalam hal sikap terhadap bank Islam, 22,6 persen responden muslim menyatakan
bahwa alasan agama merupakan motivasi utama untuk menyimpan uang di bank Islam,
sementara lebih dari 2/3 menggunakan paduan alasan “keagamaan dan keuntungan”. Ada
kesepakatan antara responden muslim dan non muslim, bahwa bank mesti menyediakan
pelayanan yang cepat dan efisien. Kalangan nonmuslim lebih mengutamakan bunga yang
tinggi dari tabungan, sementara kalangan muslim tidak terlalu memprioritaskan.
2.4. Hasil Penelitian Tim Institut Pertanian Bogor (IPB)
Penelitian Tim IPB terhadap “Sikap, Perilaku, dan Preferensi Masyarakat Terhadap
Perbankan Syariah” telah dilakukan pada empat propinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat (tahun
2000), Sumatera Utara (2003), Sumatera Selatan (2004), dan Kalimantan Selatan (2004).
Beberapa temuan pokok dari penelitian tersebut diuraikan dalam bagian berikut ini.
2.4.1. Sikap terhadap Perbankan dan Bunga
Peranan institusi perbankan dalam perekonomian diakui oleh sebagian besar
masyarakat, yaitu mencapai kisaran 92.7 persen di Sumatera Utara dan 98.1 persen di
Sumatera Selatan (Tabel 2.1). Sebagian kecil yang menyatakan tidak setuju dengan
keberadaan perbankan (bank konvensional), terutama berasal dari kelompok responden bank
syariah dan kelompok non nasabah.
Tabel 2.1. Pendapat Masyarakat Terhadap Penggunaan Perbankan dalam Kehidupan Sehari-
Hari di Empat Provinsi Lokasi Penelitian (persen)
Uraian Kalsel
(N = 880)
Sumsel
(N=760)
Sumut
(N=845)
Jabar
(N=1022)
Setuju 94.5 98.1 92.7 95.8
Tidak setuju 5.5 1.9 7.3 4.2
Alasan utama bagi masyarakat yang menyatakan setuju terhadap keberadaan bank
adalah karena menguntungkan, dalam arti memiliki manfaat dalam menjaga keamanan
finansial, memperoleh bunga (bagi deposan), memudahkan transaksi keuangan dan
kepraktisan. Selain itu, perbankan juga dinilai membantu permodalan bagi pengembangan
usaha. Bagi masyarakat yang menyatakan tidak setuju terhadap keberadaan lembaga
perbankan (konvensional) didasari oleh alasan bahwa bunga bank yang selama ini
diberlakukan termasuk dalam kategori riba sehingga dilarang oleh agama. Alasan lain adalah
karena bunga bank terlalu tinggi dan memberatkan.
Meskipun hampir semua masyarakat sependapat bahwa keberadaan lembaga
perbankan sangat perlu dan dirasakan manfaatknya untuk menunjang aktivitas ekonomi dan
memudahkan transaksi keuangan, namun terhadap penerapan bunga dalam perbankan
terdapat kecenderungan yang berbeda. Ada kecenderungan peningkatan kelompok
masyarakat yang tidak setuju terhadap sistem bunga. Di Kalimantar Selatan, sebagian besar
responden menyatakan tidak setuju dengan penerapan sistem bunga dalam perbankan
(65.7%), sementara di tiga provinsi lainnya sebagian besar responden menyatakan setuju
terhadap penerapan sistem bunga, meskipun porsi yang berpendapat tidak setuju juga hampir
berimbang yaitu 45 persen di Jawa Barat, 40.8 persen di Sumatera Utara dan 38.2 persen di
Sumatera Selatan (lihat Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Sikap Responden Terhadap Penerapan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
dalam Perbankan Nasional di Empat Provinsi Lokasi Penelitian (persen)
Uraian Kalsel
(N = 880)
Sumsel
(N=760)
Sumut
(N=845)
Jabar
(N=1022)
1. Penerapan sistem bunga
Setuju 34.3 61.8 59.2 55
Tidak setuju 65.7 38.2 40.8 45
2. Penerapan sistem bagi hasil
Setuju 93.5 93.8 85.3 94
Tidak setuju 6.5 6.2 14.7 6
Untuk penerapan sistem bagi hasil, hampir semua responden menyatakan setuju.
Tampak bahwa sebagian besar masyarakat memiliki sifat yang permisif (“serba
membolehkan”), yaitu menerima baik sistem bunga maupun bagi hasil. Pada tabel 2.3.
menunjukkan bukti lebih jauh bahwa masyarakat bersifat permisif dan juga memiliki
pendapat yang ambivalen. Ketika ditanya apakah bunga bertentangan dengan ajaran agama
yang dianut, sebagian besar responden di empat provinsi menyatakan “bertentangan” dengan
kisaran antara 60.4 persen di Sumatera Selatan dan 75.2 persen di Kalimantan Selatan. Hasil
ini ambivalen dengan tabel sebelumnya dimana sebagian besar responden setuju dengan
sistem bunga namun menyatakan bertentangan dengan agama. Hasil ini menunjukkan ada
sebagian masyarakat yang memiliki sikap tidak konsisten ketika memandang bunga dari
“kacamata” agama dan bunga dalam perspektif perbankan. Perbandingan antar lokasi
menunjukkan, responden di Kalimantan Selatan merupakan yang terkuat dalam menolak
sistem perbankan konvensional dibanding ketiga provinsi lainnya.
Tabel 2.3. Sikap Responden Terhadap Penerapan Sistem Bunga dengan Agama di Empat
Provinsi Lokasi Penelitian (persen)
Uraian Kalsel
(N = 880)
Sumsel
(N=760)
Sumut
(N=845)
Jabar
(N=1022)
Bertentangan 75.2 60.4 63.4 62
Tidak Bertentangan 7.6 17.7 19.2 22
Tidak Tahu 17.2 21.9 16.9 16
Jumlah responden yang menjawab tidak tahu apakah bunga bertentangan dengan
agama atau tidak juga cukup besar, yaitu berkisar antara 16 persen di Jawa Barat dan 21.9
persen di Sumatera Selatan. Kebimbangan ini dipengaruhi oleh perdebatan para ulama dan
ahli agama tentang bunga bank sehingga di tingkat masyarakat menimbulkan keraguan, dan
juga ketidak konsistenan dalam bersikap.
Sikap ambivalen dan tidak konsisten di dua provinsi contoh, yaitu Kalimantan
Selatan dan Sumatera Selatan dipaparkan pada tabel 2.4. berikut.
Tabel 2.4. Tingkat Konsistensi Masyarakat dalam Yang Menadang Sistem Bunga
Bertentangan dengan Agama dan Persetujuannya terhadap Penerapannya dalam
Sistem Perbankan di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan (persen)
Kalsel (N=880) Sumsel (N=760)
Kelompok Responden
Konsisten Tidak
Konsisten
Konsisten Tidak
Konsisten
1. Nasabah bank
konvensional 79.3 20.7 55.0 45.0
2. Aktif dalam beragama 81.4 18.6 59.5 40.5
3. Tidak pernah mendengar
tentang bank syariah 72.9 27.1 36.6 63.4
4. Pernah mendengar
tentang bank syariah 80.4 19.6 38.8 41.2
5. Sedikit tahun tentang bank
syariah 78.2 21.8 54.0 46.0
6. Tahu cukup banyak
tentang bank syariah 87.0 13.0 65.4 34.6
Sebagian besar responden memiliki sikap yang konsisten, menurut beberapa
kelompok responden. Namun proporsi responden yang memiliki sikap tidak konsisten juga
cukup besar, di Kalimantan Selatan berkisar antara 13 persen untuk masyarakat yang cukup
mengetahui tentang bank syariah sampai 27.1 persen untuk kelompok masyarakat yang tidak
mendengar tentang bank syariah. Sementara di Sumatera Selatan proporsi masyarakat yang
tidak konsisten lebih tinggi lagi yaitu antara 34.6 persen untuk kelompok masyarakat yang
cukup tahu tentang bank syariah sampai 63.4 persen untuk kelompok masyarakat yang tidak
pernah mendengar tentang bank syariah.
Jika dilihat terdapat hubungan antara pengetahuan tentang bank syariah dan keaktifan
dalam beragama dengan sikap ketidak konsistenan terhadap bunga bank. Masyarakat yang
aktif beragama cenderung memiliki konsistensi yang lebih tinggi yang ditunjukkan proporsi
masyarakat yang tidak konsisten lebih rendah dibandingkan dengan beberapa kelompok
masyarakat lainnya baik di Sumatera Selatan maupun di Kalimantan Selatan. Demikian juga
dengan pengetahuan tentang bank syariah, semakin mengetahui tentang bank syariah,
proporsi masyarakat yang tidak konsisten semakin rendah. Hasil ini menunjukkan
pemahaman tentang agama dan juga akses terhadap informasi sistem bank syariah memiliki
pengaruh terhadap sikap dan pandangan terhadap bunga bank.
2.4.2. Sikap dan Persepsi terhadap Perbankan Syariah
Tabel 2.5. menunjukkan proporsi responden yang pernah dan belum pernah
mendengar tentang bank syariah. Secara umum sebagian besar responden di empat provinsi
menyatakan pernah mendengar bank syariah. Responden yang menyatakan belum pernah
mendengar bank syariah juga cukup besar terutama di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara
yang masing-masing mencapai 28 persen dan 20 persen.
Tabel 2.5. Komposisi Responden Yang Pernah Mendengar Adanya Bank Syariah di Empat
Provinsi Contoh, (Persen)
Uraian Kalsel
(N=880)
Sumsel
(N=775)
Sumut
(N=845)
Jabar
(N=1022)
Pernah 88.2 72.0 79.9 88.6
Tidak 11.8 28.0 20.0 11.4
Dari responden yang menjawab pernah mendengar tentang bank syariah, dikaji lebih
jauh pengetahuannya tentang bank syariah. Tabel 2.6. menunjukkan pengetahuan masyarakat
tentang bank syariah yang menonjol. Pada keempat provinsi ternyata pemahaman
masyarakat yang dominan tentang bank syariah adalah bank yang menerapkan sistem bagi
hasil. Selain itu masyarakat memahami bank syariah sebagai bank yang beroperasi tidak
dengan sistem bunga, bank yang berbasis pada syariah agama dan bank yang beroperasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Jumlah responden yang menyatakan tidak memiliki pengetahuan tentang bank
syariah juga masih relatif tinggi, yaitu berkisar antara 13.2 persen di Sumatera Selatan dan
27.5 persen di Sumatera Utara. Jumlah ini akan lebih besar lagi jika digabungkan dengan
responden yang menyatakan belum pernah mendengar tentang bank syariah, yang dapat
dipastikan juga tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang bank syariah. Jika jumlah kedua
kategori ini digabungkan bisa mencapai 30 – 35 persen dari total responden. Artinya masih
cukup besar masyarakat yang belum tahu tentang sistem perbankan syariah. Bagi responden
yang menyatakan tahu dan menyebutkan beberapa item seperti pada Tabel 6 juga belum
dapat dipastikan mengetahui secara utuh tentang konsep dan operasionalisasinya dalam
perbankan.
Tabel 2.6. Pengetahuan Tentang Bank Syariah di Empat Provinsi Contoh (Persen)
Uraian Kalsel
(N=776)
Sumsel
(N=555)
Sumut
(N=675)
Jabar
(N=905)
Tidak memiliki pengetahuan sama
sekali 24.4 13.2 27.5 17.9
Bank sistem bagi hasil 51.6 56.8 33.7 45.1
Bank yg beroperasi tidak dengan
sistem bunga 34.3 27.6
Bank yang berbasis pada syariah
agama 29.0 37.5 20.0 18.4
Bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah
20.1 34.6 24.3
Pengetahuan masyarakat tentang bank syariah diperoleh dari berbagai sumber,dan
relatif beragam antar lokasi penelitian. Di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sumatera
Selatan, sumber informasi tentang bank syariah yang paling dominan berasal dari media
elektronik dan media cetak. Sementara di Sumatera Utara peranan teman, keluarga atau
rekan kerja dominan disamping media elektronik sebagai sumber informasi tentang bank
syariah. Sedangkan di Jawa Barat, sumber informasi paling menonjol berasal dari teman,
keluarga atau rekan kerja. Meskipun bukan yang utama, sumber informasi dari teman,
keluarga dan rekan kerja relatif besar juga di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan
(Tabel 2.7).
Tabel 2.7. Sumber Informasi Tentang Bank Syariah di Empat Provinsi Contoh (Persen)
Uraian Kalsel
(N=775)
Sumsel
(N=555)
Sumut
(N=845)
Jabar
(N=1022)
Media Cetak 41.4 45.1 21.9 20.8
Media Elektronik 56.1 67.9 36.3 23.7
Brosur, reklame, spanduk 21.3 13.2 10.7 13.3
Teman/keluarga/rekan kerja 36.8 32.1 34.3 54.7
2.43. Perilaku Adopsi Bank Syariah
Tabel 2.8. dan 2.9. menunjukkan bahwa nasabah bank syariah sebagian besar
mengedepankan aspek keagamaan dalam memilih bank syariah, yaitu kesesuaian dengan
syariah agama. Alasan ini paling menonjol di Kalimantan Selatan yang mencapai 72.5 persen.
Dari aspek operasional bank, alasan yang paling menonjol dalam memilih bank baik pada
nasabah bank syariah maupun bank konvensional adalah lokasi/aksesibilitas terhadap bank.
Aksesibilitas disini lebih pada aspek kemudahan dalam memperoleh pelayanan bank
termasuk jarak yang dekat. Beberapa alasan lain yang dijadikan dasar penentuan bank, baik
bank syariah maupun konvensional adalah pelayanan yang profesional, dan kredibilitas bank.
Tabel 2.8. Alasan Memilih Bank Syariah di Empat Provinsi Contoh (Persen)
Uraian Kalsel
(N=160)
Sumsel
(N=137)
Sumut
(N=169)
Jabar
(N=324)
Kesesuaian dengan syariah
agama
72.5 40.1 53.3 36.7
Lokasi /aksesibilitas 35.0 40.1 39.1 52.8
Keprofesionalan pelayanan 16.9 29.2 5.9 10.5
Kredibilitas/keamanan 16.9 35.8 13.6 16.0
Fasilitas ATM 16.9 4.4 0.9
Status bank (BUMN/Swasta) 3.1 9.5 1.8 0.6
Bunga simpanan 0.6 6.6 0.6 0.3
Bunga kredit/pinjaman 1.3 2.9 13.6
Diwajibkan 11.9 69.3 4.7 2.8
Hasil ini menunjukkan bahwa pertimbangan rasional sangat mewarnai keputusan
masyarakat dalam memilih bank, baik pada bank syariah maupun bank konvensional,
sehingga aspek-aspek tersebut harus mendapat perhatian besar bagi institusi bank untuk
dapat bersaing. Pada kondisi ini bank syariah sebenarnya memiliki keunggulan, karena
memiliki faktor religiusitas yang dominan dijadikan pertimbangan memilih bank, namun
tetapharus diimbangi dengan peningkatan aspek pelayanan dan aksesibilitas.
Tabel 2.9. Alasan Dalam Memilih Bank Konvensional di Empat Provinsi Contoh (Persen)
Uraian Kalsel
(N=746)
Sumsel
(N=647)
Sumut
(N=681)
Jabar
(N=774)
Lokasi/aksesibilitas 55.6 48.5 51.5 53.8
Keprofesionalan layanan 29.4 30.1 18.5 17.7
Kredibilitas/keamanan 40.8 44.7 43.9 38.9
Fasilitas ATM 20.2 19.0 11.9 18.1
Status Bank (BUMN/Swasta) 6.0 17.0 25.1 15.5
Hadiah/Bonus 7.5 5.3 4.1 1.6
Bunga simpanan 4.0 2.3 2.7
Bunga kredit/pinjaman 5.8 6.3 7.2
Diwajibkan 11.5 10.7 9.7
Sebagian besar nasabah bank syariah di empat provinsi merupakan nasabah
penabung (Tabl 2.10.), terutama tabungan mudharabah mutlaqah. Jumlah nasabah yang
memanfaatkan produk ini berkisar 90 persen untuk keempat provinsi. Produk deposito,
meskipun relatif sedikit yang memanfaatkannya namun murupakan produk penghimpunan
dana yang dominan setelah produk tabungan dengan jumlah berkisar antara 5.6 persen
sampai 12.3 persen. Produk giro relatif belum diminati oleh masyarakat.
Tabel 2. 10. Jenis Produk Dan Jasa Bank Syariah Yang Dimanfaatkan di Empat Provinsi
Contoh (Persen)
Uraian Kalsel
(N=160)
Sumsel
(N=137)
Sumut
(N=169)
Jabar
(N=324)
Penghimpunan Dana
Giro 2.5 1.5 4.1 4.6
Tabungan 90.6 96.4 92.9 89.8
Deposito 5.6 12.3 8.1 7.4
Simpanan haji 4.4 0.7 3.6 4.6
Pembiayaan
Ba’i (jual beli) 7.5 16.8 28.4
29.9
Syirkah (bagi hasil) 2.5 5.8 13.
6
10.5
Qardh Hasan 0.6 1.5 2.4 0.3
Nasabah yang memanfaatkan produk pembiayaan relatif jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan produk penghimpunan dana. Untuk produk pembiayaan, sistem yang
paling banyak diterapkan adalah sistem jual beli (ba’i). Hanya sebagian kecil yang
menggunakan sistem bagi hasil (syirkah). Padahal jika dilihat dari konsep operasional bank
syariah, ciri khas yang sangat membedakan antara bank syariah dan konvensional adalah
sistem bagi hasil ini, dimana didalamnya memuat aspek-aspek keadilan (pembagian risiko
bersama), pembinaan, dan kemitraan.
Dominannya produk pembiayaan dengan sistem jual beli sebenarnya dikehendaki
baik oleh nasabah maupun oleh pihak bank, karena beberapa alasan. Dari pihak nasabah;
pada pelaksanaanya sistem bagi hasil seringkali menghasilkan jumlah pembayaran efektif
yang ditanggung peminjam lebih tinggi dibandingkan dengan sistem bunga atau murabahah,
sehingga untuk usaha-usaha yang menguntungkan cenderung lebih menyukai sistem jual beli
dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Sementara dari pihak Bank Syariah sendiri secara
teknis lebih menyukai pembiyaan dengan menggunakan sistem jual beli. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal: (1) penerimaan bank dengan sistem jual beli lebih pasti, karena margin
sudah ditetapkan pada awal kontrak, dibandingkan dengan sistem bagi hasil yang
tergantung pada fluktuasi bisnis dari nasabahnya, (2) biaya operasional sistem jual beli relatif
lebih murah dibandignkan dengan sistem bagi hasil, karena sistem bagi hasil memerlukan
pengawasan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem jual beli, dan (3) risiko sistem bagi
hasil lebih besar, disamping risiko usaha juga terdapat risiko ketidak jujuran nasabah dalam
menyampaikan laporan keuntungan usaha.
Untuk memperkecil risiko dari ketidak jujuran nasabah, pada umumnya bank akan
menawarkan sistem jual beli terlebih dahulu untuk nasabah pembiayaan baru. Setelah sekian
lama dan ternyata nasabah menunjukkan perilaku yang dapat dipercaya, maka bank akan
mengabulkan pola pembiayaan dengan sistem bagi hasil jika diinginkan oleh nasabah.
Kondisi yang demikian dan keberadaan bank syariah yang relatif baru menyebabkan
komposisi pembiayaan bagi hasil lebih rendah dibandingkan dengan jual beli. Beberapa bank
syariah yang relatif besar komposisi pembiyaan bagi hasilnya umumnya bekerja sama dengan
BPRS atau lembaga keuangan syariah lainnya. Jadi mekanisme pembiayaan antara bank
umum syariah dengan BPRS menggunakan sistem bagi hasil, sementara BPRS dengan
nasabah menggunakan sistem jual beli. Cara ini ditempuh sebagai strategi dalam memperluas
pasar dan juga mengurangi risiko bank syariah.
Pola pembiayaan yang demikian tidak jarang menimbulkan salah interpretasi di
kalangan masyarakat. Terlebih pada kondisi sekarang tingkat pemahaman masyarakat
terhadap bank syariah masih rendah, apalagi terhadap produk-produk bank syariah secara
lebih spesifik. Dengan latar belakang pengetahuan yang demikian, masyarakat kemudian
sulit membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah, terutama pada produk
murabahah (jual beli), karena pada keduanya terdapat pokok dan tambahan angsuran berupa
bunga di bank konvensional dan margin di bank syariah. Bagi nasabah keduanya sama saja.
Hal ini muncul karena pada tataran implementasi produk murabahah, bank tidak
melaksanakan fungsinya sebagai “penjual” barang yang dipesankan oleh nasabah, tetapi
memberikan dalam bentuk uang tunai.
Motivasi responden dalam memanfaatkan peroduk penghimpunan dana bank syariah
sejalan dengan alasan utama dalam pemilihan bank yariah, yaitu dalam rangka menjalankan
syariah agama dan karena bank syariah tidak menggunakan sistem bunga. Alasan dominan
berikutnya baru terkait dengan aspek operasional bank yaitu sistem bagi hasil yang jelas dan
pelayanan yang cepat. Dalam memanfaatkan produk pembiayaan, sekalipun dari aspek
jumlah responden yang memanfaatkan produk ini masih relatif kecil, alasan yang dominan
adalah tidak menggunakan sistem bunga dan menjalankan syariah agama. Alasan lainnya
adalah penanggungan risiko bersama (lebih adil) dan pelayanan yang cepat. Kecederungan
alasan ini sama dengan alasan pemanfaatan produk penghimpunan dana.
2.4.4. Faktor Penentu Adopsi Bank Syariah
Kecenderungan masyarakat dalam menentukan untuk mengadopsi atau tidak
mengadopsi bank syariah dapat diidentifikasi berdasarkan variabel-variabel demografi, soial
ekonomi, pemahaman tentang agama dan juga tentang bang syariah. Pada Tabel 2.11.
ditunjukkan variabel-variabel yang secara signifikan mempengaruhi keputusan masyarakat
untuk mengadopsi bank syariah pada taraf nyata 30 persen. Analisis ini menggunakan model
logit.
Secara umum, keputusan masyarakat dalam memutuskan untuk mengadopsi bank
syariah dipengaruhi oleh variabel demografi dan ekonomi mayarakat yang mencakup: tingkat
pendidikan masyarakat, pekerjaan utama, tingkat pendapatan, serta aksesibiiltas dan
keterbukaan terhadap informasi. Variabel sikap dan persepsinya terhadap perbankan, juga
turut mempengaruhi pengambilan keputusan seperti: persetujuan terhadap peranan
perbankan dalam kehidupan, pendapat bahwa bunga bank bertentangan dengan agama, dan
ketaatan dalam beragama. Kedudukan sosial seperti ketokohan seseorang turut juga
mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi atau tidak. Variabel lain yang dominan
memiliki pengaruh dalam adopsi bank syariah adalah pengetahuan dan kesan tentang bank.
Masyarakat memilih atau tidak memilih bank syariah juga dipengaruhi oleh jenis produk yang
diadopsi (penghimpunan dana atau pembiayaan/ktredit) dan pertimbangan-pertimbangan
dalam memilih bank seperti profesionalisme pelayanan, aksesibilitas dan sebagainya).Variabel
yang dominan dalam mempengaruhi adopsi terhadap bank syariah adalah keberadaan bank
syariah itu sendiri.
Tabel 2.11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat untuk Mengadopsi Produk dan
Jasa Bank Syariah di Empat Provinsi Contoh (Persen)
Kalimantan
Selatan
Sumatera
Selatan
Sumatera
Utara
Jawa Barat
Faktor Yang Meningkatkan Peluang Adopsi
1. Keberadaan bank
syariah
2. Pengetahuan
tentang bank
syariah
3. Persepsi bunga
bertentangan
dengan agama
4. Pertimbangan
profesionalisme
5. Kesan positif
terhadap bank
syariah
6. Status tokoh agama
7. Jenis pekerjaan
pengusaha
1. Pendidikan non
formal (bisnis)
2. Pekerjaan utama
(pengusaha)
3. Pertimbangan
profesionalisme
4. Jenis produk yang
diadopsi
(pembiayaan)
5. Posisi tokoh agama
6. Ketaatan beragama
7. Persepsi bunga
bertentangan
dengan agama
8. Kesan positif
terhadap bank
syariah
1. Pendidikan
2. Pendapatan
3. Pekerjaan (pegawai)
4. Persetujuan
terhadap peran
perbankan
5. Pertimbangan
pelayanan
6. Pengetahuan
tentang bank
syariah
1. Jenis pekerjaan
(pengusaha)
2. Pendapatan
3. Persetujuan
terhadap peran
perbankan
4. Pertimbangan
aksesibilitas
5. Pengetahuan
tentang bank syariah
Faktor Yang Menurunkan Peluang Adopsi
1. Pertimbangan
hadiah
2. Status tokoh formal
3. Persetujuan
terhadap peran
perbankan
4. Aksesibilitas
1. Keterbukaan
terhadap informasi
2. Posisi tokoh formal
3. Persetujuan
terhadap peran
perbankan
4. Kesan negatif
terhadap bank
syariah
1. Pertimbangan
kredibilitas bank
2. Aksesibilitas
3. Pemanfaatan
produk
(pembiayaan)
1. Keterbukaan
terhadap informasi
2. Pertimbangan
pelayanan,
kredibilitas, fasilitas
dan status bank
3. Jasa pembiayaan
Variabel-variabel yang nyata beberapa berbeda antar provinsi atau juga memiliki arah
yang berbeda, seperti pertimbangan aksesibilitas di Jawa Barat memiliki pengaruh positif
sementara di Kalsel dan Sumut memiliki pengaruh negatif dan di Sumsel tidak berpengauh
nyata. Perlu diinformasikan juga perbedaan variabel antar provinsi juga disebabkan karena
perbedaan penggunaan variabel dalam analisis. Beberapa variabel tambahan dimasukan
dalam analisis logit di Kalsel dan Sumsel yang belum ada di Sumut dan Jabar. Tambahan
variabel ini dihasilkan dari revisi kuesioner berdasarkan hasil penelitian di Jawa Barat dan
Sumatera Utara. Pengaruh positif terhadap adopsi bank syariah antara lain: pengetahuan
tentang bank syariah, kesan posistif terhadap bank syariah, dan posisi tokoh agama. Dengan
demikian aspek-aspek ini perlu mendapatkan perhatian untuk meningkatkan tingkat adopsi
masyarakat terhadap bank syariah terutama melalui peningkatan pemahaman masyarakat
tentang bank syariah.
Selain aspek sosial, demografi, ekonomi, pemahaman terhadap bank syariah,
pendapatan terhadap bunga, dan lain-lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam
mengadopsi bank syariah, aspek yang penting adalah setelah mengadopsi bagaimana
kelanjutannya. Hal ini pada umumnya terkait dengan tingkat kepuasan nasabah terhadap
pelayanan dan kinerja bank syariah.Untuk itu perlu dikaji lebih jauh apa yang menjadi
kelebihan dan juga kelemahan bank syariah menurut persepsi nasabah. Tabel 2.12
menunjukkan rangkuman dari pendapat nasabah syariah di empat provinsi tentang kelebihan
dan kelemahan bank syariah.
Kekuatan bank syariah dari aspek prinsip syariah adalah tidak menggunakan bunga
sehingga tidak mengandung riba, dan dinilai lebih sesuai dengan syariah agama. Terkait
dengan produk bank syariah dinilai memiliki pilihan produk yang banyak, dan persyaratan
yang relatif mudah, sementara terkait dengan pelayanan, kekuatan bank syariah terletak pada
pada karyawan yang baik, ramah, rapi dan sopan, pelayanan cepat dan memungkinkan tawar
menawar dalam margin/bagi hasil (Tabel 2. 2).
Tabel 2.12. Pendapat terhadap Kelebihan dan Kelemahan Bank Syariah yang Dominan
Aspek Kekuatan Kelemahan
A. Terkait
dengan
prinsip
syariah
a. Menggunakan sistem bagi
hasil, bebas riba, dan tidak
memberatkan
b. Sesuai dengan syariah agama
a. Transaksi belum jelas
b. Jasa pinjamannya tinggi
c. Bagi hasil/margin sama saja
dengan bunga
B. Terkait
dengan jenis
produk
a. Lebih bervariasi (ada simpanan
haji, pinjaman dengan sistem jual
beli, kredit bagi hasil, dll)
b. Persyaratan tidak berbelit-belit
tanpa jaminan
a. Informasi dan sosialisasi masih
kurang
b. Jumlah maksimum (plafon)
pinjaman terbatas
c. Produk kurang bervariasi
C. Terkait
dengan
kenyamanan
pelayanan
a. Karyawan yang baik, petugas
mendatangi nasabah
b. Karyawan ramah dan berpakain
sopan
c. Pelayanan cepat
d. Ada tawar-menawar bagi hasil
a. Karyawan belum sepenuhnya
paham dengan sistem syariah
b. Fasilitas kurang lengkap (tidak
ada ATM, dll), tenaga kerja
kurang
c. Perhitungan bagi hasil kurang
jelas
Sementara kelemahan bank syariah menurut responden terkait dengan prinsip syariah
adalah: mekanisme transaksi yang belum jelas, jasa pembiayaan lebih tinggi, dan bagi hasil
atau marginnya dinilai sama saja dengan bunga. Terkait dengan produk, kelemahan bank
syariah adalah informasi dan sosialisasi masih kurang, plafound terbatas, dan produk kurang
bervariasi, sementara dari aspek pelayanan, karyawan belum paham terhadap prinsip syariah,
fasilitas yang kurang dan perhitungan bagi hasil tidak jelas.
********
DAFTAR BACAAN
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Bank Indonesia.
Jakarta
Aunuddin. 1989. Analisis Data. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan. Tazkia Institute.
Jakarta
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. AlvaBet.
Jakarta
Bangun, Pajung. 1999. Kebudayaan Batak dalam Koentjaraningrat 1999. Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia. Penerbit Jambatan. Jakarta.
Clark, C.T. dan L.L. Sckade. 1983. Statistical Analysis for Administrative Decisions. South Western
Publishing Co., Ohio.
Ebrahim, M.Shahid dan Tan Kai Joo. Islamic Banking in Brunei Darussalam. International Jurnal of
Social Economics. Vol 28/No.4/2001
Gerrard Philip dan J. Barton Cunningham. 1997. Islamic Banking: a Study in Singapore.
International Journal of Bank Marketing. Vol 15 No.6.
Hamidi, Lutfi. 2003. Jejak-Jejak Ekonomi Syariah. Senayan Abadi Publishing. Jakarta
Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley & Sons, New
York
Haroa, Sudin. dkk. 1994. Bank Patronage Factors of Muslim and Non-Muslim Customers.
International Journal of Bank Marketing. Vol 12 No.1
Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbitan Jambatan. Jakarta
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah. Pedoman Sistem Komputerisasi Pada Bank
Perkreditan Rakyat Syariah. Tehnik Bagi Hasil. Modul Pelatihan.
McCullagh, P. and J.A. Nelder. 1983. Generalized Linear Models. Chapman, London.
Metawa, Saad dan Mohammad Atmossawi. 1998. Banking Behaviour of Islamic Bank Customers:
perspective abd implication. International Journal of bank Marketing Vol 16 No.7
Naser ,Kamal; Ahmad Jamal; Khalid Al-Khatib. 1999. Islamic Bank: a study of Customer
Satisfaction and Preferences in Jordan. International Journal of Bank Marketing Vol 17 No.
3
Naser, Kamal dan Luiz Montinho. 1997. Strategic Marketing Management: The Case of Islamic
Banks. International Journal of Bank Marketing Vol. 15 No.6
Sjahdeini, S. Remy. 1999. Perbankan Islam: Kedudukan dan Peranannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. Grafiti. Jakarta.
Skha Consulting. 2001. Potensi Peran Bank Indonesia dalam Pengembangan Industri Perbankan
Syariah Nasional. Jakarta
Antonio Safii Muhammad, M.Sc. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Bank Indonesia, Jakarta, 2000.
Keynes, J.M. The General Theory of Employment, Interest and Money, Harcourt Brace, New
York, 1963.
METWALLY. M.M, Prof. DR., Teori dan Model Ekonomi Islam, PT. Bankit Daya Insana, Jakarta,
1995
------------,Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta. Tahun 1995 s/d
Desember 2001.
Siddiqi, M.N., “Rational of Islamic Bank”, International for Islamic Economic, Jeddah, 1981.
****

0 komentar:

Posting Komentar